TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK
Teori belajar behavioristik menjelaskan belajar itu adalah perubahan
perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret. Perubahan
terjadi melalui rangsangan (stimulans) yang menimbulkan hubungan perilaku
reaktif (respon) berdasarkan hukum-hukum mekanistik. Stimulans tidak lain
adalah lingkungan belajar anak, baik yang internal maupun eksternal yang
menjadi penyebab belajar. Sedangkan respons adalah akibat atau dampak, berupa
reaksi fifik terhadap stimulans. Belajar berarti penguatan ikatan, asosiasi,
sifat da kecenderungan perilaku S-R (stimulus-Respon).
Teori Behavioristik:
- Mementingkan faktor lingkungan
- Menekankan pada faktor bagian
- Menekankan pada tingkah laku yang nampak dengan mempergunakan metode obyektif.
- Sifatnya mekanis
- Mementingkan masa lalu
A. Edward Edward Lee Thorndike (1874-1949): Teori Koneksionisme
Thorndike
berprofesi sebagai seorang pendidik dan psikolog yang berkebangsaan Amerika.
Lulus S1 dari Universitas Wesleyen tahun 1895, S2 dari Harvard tahun 1896 dan
meraih gelar doktor di Columbia tahun 1898. Buku-buku yang ditulisnya antara
lain Educational Psychology (1903), Mental and social Measurements (1904),
Animal Intelligence (1911), Ateacher’s Word Book (1921),Your City (1939), dan
Human Nature and The Social Order (1940).
Menurut Thorndike, belajar merupakan
peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang
disebut stimulus (S) dengan respon (R ). Stimulus adalah suatu perubahan dari
lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk
beraksi atau berbuat sedangkan respon dari adalah sembarang tingkah laku yang
dimunculkan karena adanya perangsang. Dari eksperimen kucing lapar yang
dimasukkan dalam sangkar (puzzle box) diketahui bahwa supaya tercapai hubungan
antara stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang
tepat serta melalui usaha –usaha atau percobaan-percobaan (trials) dan
kegagalan-kegagalan (error) terlebih dahulu. Bentuk paling dasar dari belajar
adalah “trial and error learning atau selecting and connecting learning” dan
berlangsung menurut hukum-hukum tertentu. Oleh karena itu teori belajar yang
dikemukakan oleh Thorndike ini sering disebut dengan teori belajar
koneksionisme atau teori asosiasi. Adanya pandangan-pandangan Thorndike yang
memberi sumbangan yang cukup besar di dunia pendidikan tersebut maka ia
dinobatkan sebagai salah satu tokoh pelopor dalam psikologi pendidikan.
Percobaan Thorndike yang terkenal
dengan binatang coba kucing yang telah dilaparkan dan diletakkan di dalam
sangkar yang tertutup dan pintunya dapat dibuka secara otomatis apabila kenop
yang terletak di dalam sangkar tersebut tersentuh. Percobaan tersebut
menghasilkan teori “trial and error” atau “selecting and conecting”, yaitu
bahwa belajar itu terjadi dengan cara mencoba-coba dan membuat salah. Dalam
melaksanakan coba-coba ini, kucing tersebut cenderung untuk meninggalkan
perbuatan-perbuatan yang tidak mempunyai hasil. Setiap response menimbulkan
stimulus yang baru, selanjutnya stimulus baru ini akan menimbulkan response
lagi, demikian selanjutnya, sehingga dapat digambarkan sebagai berikut:
S R S1 R1
dst
Dalam
percobaan tersebut apabila di luar sangkar diletakkan makanan, maka kucing
berusaha untuk mencapainya dengan cara meloncat-loncat kian kemari. Dengan
tidak tersengaja kucing telah menyentuh kenop, maka terbukalah pintu sangkar
tersebut, dan kucing segera lari ke tempat makan. Percobaan ini diulangi untuk
beberapa kali, dan setelah kurang lebih 10 sampai dengan 12 kali, kucing baru dapat
dengan sengaja enyentuh kenop tersebut apabila di luar diletakkan makanan.
Dari
percobaan ini Thorndike menemukan hukum-hukum belajar sebagai berikut :
- Hukum Kesiapan(law of readiness), yaitu semakin siap suatu organisme memperoleh suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat.
Prinsip pertama teori koneksionisme adalah belajar suatu kegiatan
membentuk asosiasi(connection) antara kesan panca indera dengan kecenderungan
bertindak. Misalnya, jika anak merasa senang atau tertarik pada kegiatan
jahit-menjahit, maka ia akan cenderung mengerjakannya. Apabila hal ini
dilaksanakan, ia merasa puas dan belajar menjahit akan menghasilkan prestasi
memuaskanPrinsip pertama teori koneksionisme adalah belajar suatu kegiatan
membentuk asosiasi(connection) antara kesan panca indera dengan kecenderungan
bertindak. Misalnya, jika anak merasa senang atau tertarik pada kegiatan
jahit-menjahit, maka ia akan cenderung mengerjakannya. Apabila hal ini
dilaksanakan, ia merasa puas dan belajar menjahit akan menghasilkan prestasi
memuaskan.
Masalah pertama hukum law of readiness adalah jika kecenderungan
bertindak dan orang melakukannya, maka ia akan merasa puas. Akibatnya, ia tak
akan melakukan tindakan lain.
Masalah kedua, jika ada kecenderungan bertindak, tetapi ia tidak
melakukannya, maka timbullah rasa ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan melakukan
tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasannya.
Masalah ketiganya adalah bila tidak ada kecenderungan bertindak padahal
ia melakukannya, maka timbullah ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan melakukan
tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasannya.
- Hukum Latihan (law of exercise), yaitu semakin sering tingkah laku diulang/ dilatih (digunakan) , maka asosiasi tersebut akan semakin kuat.
Prinsip law of exercise adalah koneksi antara kondisi (yang merupakan
perangsang) dengan tindakan akan menjadi lebih kuat karena latihan-latihan,
tetapi akan melemah bila koneksi antara keduanya tidak dilanjutkan atau
dihentikan. Prinsip menunjukkan bahwa prinsip utama dalam belajar adalah
ulangan. Makin sering diulangi, materi pelajaran akan semakin dikuasai.
- Hukum akibat(law of effect), yaitu hubungan stimulus respon cenderung diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan. Hukum ini menunjuk pada makin kuat atau makin lemahnya koneksi sebagai hasil perbuatan. Suatu perbuatan yang disertai akibat menyenangkan cenderung dipertahankan dan lain kali akan diulangi. Sebaliknya, suatu perbuatan yang diikuti akibat tidak menyenangkan cenderung dihentikan dan tidak akan diulangi.
Koneksi antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak dapat
menguat atau melemah, tergantung pada “buah” hasil perbuatan yang pernah
dilakukan. Misalnya, bila anak mengerjakan PR, ia mendapatkan muka manis
gurunya. Namun, jika sebaliknya, ia akan dihukum. Kecenderungan mengerjakan PR
akan membentuk sikapnya.
Thorndike berkeyakinan bahwa prinsip proses belajar binatang pada
dasarnya sama dengan yang berlaku pada manusia, walaupun hubungan antara
situasi dan perbuatan pada binatang tanpa dipeantarai pengartian. Binatang
melakukan respons-respons langsung dari apa yang diamati dan terjadi secara
mekanis(Suryobroto, 1984).
Selanjutnya Thorndike menambahkan hukum tambahan sebagai berikut:
a. Hukum
Reaksi Bervariasi (multiple response).
Hukum ini mengatakan bahwa pada individu diawali
oleh prooses trial dan error yang menunjukkan adanya bermacam-macam respon
sebelum memperoleh respon yang tepat dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
b. Hukum
Sikap ( Set/ Attitude).
Hukum ini menjelaskan bahwa perilakku belajar
seseorang tidak hanya ditentukan oleh hubungan stimulus dengan respon saja,
tetapi juga ditentukan keadaan yang ada dalam diri individu baik kognitif,
emosi , sosial , maupun psikomotornya.
c. Hukum
Aktifitas Berat Sebelah ( Prepotency of Element).
Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam proses belajar memberikan
respon pada stimulus tertentu saja sesuai dengan persepsinya terhadap
keseluruhan situasi ( respon selektif).
d. Hukum
Respon by Analogy.
Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam melakukan respon pada situasi
yang belum pernah dialami karena individu sesungguhnya dapat menghubungkan
situasi yang belum pernah dialami dengan situasi lama yang pernah dialami
sehingga terjadi transfer atau perpindahan unsur-unsur yang telah dikenal ke
situasi baru. Makin banyak unsur yang sama maka transfer akan makin mudah.
e. Hukum
perpindahan Asosiasi ( Associative Shifting)
Hukum ini mengatakan bahwa proses peralihan dari situasi yang dikenal ke
situasi yang belum dikenal dilakukan secara bertahap dengan cara menambahkan
sedikit demi sedikit unsur baru dan membuang sedikit demi sedikit unsur lama.
Selain menambahkan hukum-hukum baru, dalam
perjalanan penyamapaian teorinya thorndike mengemukakan revisi Hukum Belajar
antara lain :
- Hukum latihan ditinggalkan karena ditemukan pengulangan saja tidak cukup untuk memperkuat hubungan stimulus respon, sebaliknya tanpa pengulanganpun hubungan stimulus respon belum tentu diperlemah.
- Hukum akibat direvisi. Dikatakan oleh Thorndike bahwa yang berakibat positif untuk perubahan tingkah laku adalah hadiah, sedangkan hukuman tidak berakibat apa-apa.
- Syarat utama terjadinya hubungan stimulus respon bukan kedekatan, tetapi adanya saling sesuai antara stimulus dan respon.
- Akibat suatu perbuatan dapat menular baik pada bidang lain maupun pada individu lain.
Teori koneksionisme menyebutkan pula konsep transfer of training, yaiyu kecakapan yang telah diperoleh dalam
belajar dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang lain. Perkembangan
teorinya berdasarkan pada percobaan terhadap kucing dengan problem box-nya.
- Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936).
Ivan Petrovich Pavlov lahir 14 September 1849 di Ryazan Rusia yaitu desa
tempat ayahnya Peter Dmitrievich Pavlov menjadi seorang pendeta. Ia dididik di
sekolah gereja dan melanjutkan ke Seminari Teologi. Pavlov lulus sebagai sarjan
kedokteran dengan bidang dasar fisiologi. Pada tahun 1884 ia menjadi direktur
departemen fisiologi pada institute of Experimental Medicine dan memulai
penelitian mengenai fisiologi pencernaan. Ivan Pavlov meraih penghargaan nobel
pada bidang Physiology or Medicine tahun 1904. Karyanya mengenai pengkondisian
sangat mempengaruhi psikology behavioristik di Amerika. Karya tulisnya adalah
Work of Digestive Glands(1902) dan Conditioned Reflexes(1927).
Classic conditioning (
pengkondisian atau persyaratan klasik) adalah proses yang ditemukan Pavlov
melalui percobaanny terhadap anjing, dimana perangsang asli dan netral
dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga
memunculkan reaksi yang diinginkan.
Eksperimen-eksperimen
yang dilakukan Pavlov dan ahli lain tampaknya sangat terpengaruh pandangan
behaviorisme, dimana gejala-gejala kejiwaan seseorang dilihat dari perilakunya.
Hal ini sesuai dengan pendapat Bakker bahwa yang paling sentral dalam hidup
manusia bukan hanya pikiran, peranan maupun bicara, melainkan tingkah lakunya. Pikiran
mengenai tugas atau rencana baru akan mendapatkan arti yang benar jika ia
berbuat sesuatu (Bakker, 1985).
Bertitik tolak dari
asumsinya bahwa dengan menggunakan rangsangan-rangsangan tertentu, perilaku
manusia dapat berubah sesuai dengan apa yang didinkan. Kemudian Pavlov
mengadakan eksperimen dengan menggunakan binatang (anjing) karena ia menganggap
binatang memiliki kesamaan dengan manusia. Namun demikian, dengan segala
kelebihannya, secara hakiki manusia berbeda dengan binatang.
Ia mengadakan percobaan dengan cara mengadakan operasi leher pada seekor
anjing. Sehingga kelihatan kelenjar air liurnya dari luar. Apabila
diperlihatkan sesuatu makanan, maka akan keluarlah air liur anjing tersebut.
Kin sebelum makanan diperlihatkan, maka yang diperlihatkan adalah sinar merah
terlebih dahulu, baru makanan. Dengan sendirinya air liurpun akan keluar pula.
Apabila perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang, maka pada suatu
ketika dengan hanya memperlihatkan sinar merah saja tanpa makanan maka air
liurpun akan keluar pula.
Makanan adalah
rangsangan wajar, sedang merah adalah rangsangan buatan. Ternyata kalau
perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang, rangsangan buatan ini akan
menimbulkan syarat(kondisi) untuk timbulnys air liur pada anjing tersebut. Peristiwa
ini disebut: Reflek Bersyarat atau Conditioned Respons.
Pavlov berpendapat,
bahwa kelenjar-kelenjar yang lain pun dapat dilatih. Bectrev murid Pavlov
menggunakan prinsip-prinsip tersebut dilakukan pada manusia, yang ternyata
diketemukan banyak reflek bersyarat yang timbul tidak disadari manusia.
Dari eksperimen Pavlov setelah pengkondisian atau pembiasaan dpat
diketahui bahwa daging yang menjadi stimulus alami dapat digantikan oleh bunyi
lonceng sebagai stimulus yang dikondisikan. Ketika lonceng dibunyikan ternyata
air liur anjing keluar sebagai respon yang dikondisikan.
Apakah situasi ini bisa
diterapkan pada manusia? Ternyata dalam kehidupan sehar-jhari ada situasi yang
sama seperti pada anjing. Sebagai contoh, suara lagu dari penjual es krim Walls
yang berkeliling dari rumah ke rumah. Awalnya mungkin suara itu asing, tetapi
setelah si pejual es krim sering lewat, maka nada lagu tersebut bisa
menerbitkan air liur apalagi pada siang hari yang panas. Bayangkan, bila tidak
ada lagu trsebut betapa lelahnya si penjual berteriak-teriak menjajakan dagangannya.
Contoh lai adalah bunyi bel di kelas untuk penanda waktu atau tombol antrian di
bank. Tanpa disadari, terjadi proses menandai sesuatu yaitu membedakan
bunyi-bunyian dari pedagang makanan(rujak, es, nasi goreng, siomay) yang sering
lewat di rumah, bel masuk kelas-istirahat atau usai sekolah dan antri di bank
tanpa harus berdiri lama.
Dari contoh tersebut dapat diketahui bahwa dengan menerapkan strategi
Pavlov ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus
alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang
diinginkan, sementara individu tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh
stimulus yang berasal dari luar dirinya.
C. Burrhus Frederic Skinner (1904-1990).
Seperti halnya kelompok penganut psikologi modern, Skinner mengadakan
pendekatan behavioristik untuk menerangkan tingkah laku. Pada tahun 1938,
Skinner menerbitkan bukunya yang berjudul The Behavior of Organism. Dalam
perkembangan psikologi belajar, ia mengemukakan teori operant conditioning. Buku
itu menjadi inspirasi diadakannya konferensi tahunan yang dimulai tahun 1946
dalam masalah “The Experimental an Analysis of Behavior”. Hasil konferensi dimuat dalam jurnal berjudul
Journal of the Experimental Behaviors
yang disponsori oleh Asosiasi Psikologi di Amerika (Sahakian,1970)
B.F. Skinner berkebangsaan Amerika dikenal sebagai tokoh behavioris
dengan pendekatan model instruksi langsung dan meyakini bahwa perilaku
dikontrol melalui proses operant conditioning. Di mana seorang dapat
mengontrol tingkah laku organisme melalui pemberian reinforcement yang
bijaksana dalam lingkungan relatif besar. Dalam beberapa hal, pelaksanaannya
jauh lebih fleksibel daripada conditioning klasik.
Gaya mengajar guru dilakukan dengan beberapa pengantar dari guru secara searah
dan dikontrol guru melalui pengulangan dan latihan.
Menajemen Kelas menurut Skinner adalah berupa usaha untuk memodifikasi
perilaku antara lain dengan proses penguatan yaitu memberi penghargaan pada
perilaku yang diinginkan dan tidak memberi imbalan apapun pada perilaku yanag
tidak tepat. Operant Conditioning adalah suatu proses perilaku operant (
penguatan positif atau negatif) yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut
dapat berulang kembali atau menghilang sesuai dengan keinginan.
Skinner membuat eksperimen sebagai berikut :
Dalam laboratorium Skinner memasukkan tikus yang telah dilaparkan dalam
kotak yang disebut “skinner box”, yang sudah dilengkapi dengan berbagai
peralatan yaitu tombol, alat pemberi makanan, penampung makanan, lampu
yangdapat diatur nyalanya, dan lantai yanga dapat dialir listrik. Karena
dorongan lapar tikus beruasah keluar untuk mencari makanan. Selam tikus
bergerak kesana kemari untuk keluar dari box, tidak sengaja ia menekan tombol,
makanan keluar. Secara terjadwal diberikan makanan secara bertahap sesuai
peningkatan perilaku yang ditunjukkan si tikus, proses ini disebut shapping.
Berdasarkan berbagai percobaannya pada tikus dan burung merpati Skinner
mengatakan bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan. Maksudnya adalah
pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus respon akan semakin kuat
bila diberi penguatan. Skinner membagi penguatan ini menjadi dua yaitu
penguatan positif dan penguatan negatif. Bentuk bentuk penguatan positif berupa
hadiah, perilaku, atau penghargaan. Bentuk bentuk penguatan negatif antara lain
menunda atau tidak memberi penghargaan, memberikan tugas tambahan atau
menunjukkan perilaku tidak senang.
Beberapa prinsip Skinner antara lain :
- Hasil belajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan, jika bebar diberi penguat.
- Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar.
- Materi pelajaran, digunakan sistem modul.
- Dalam proses pembelajaran, tidak digunkan hukuman. Untuk itu lingkungan perlu diubah, untukmenghindari adanya hukuman.
- dalam proses pembelajaran, lebih dipentingkan aktifitas sendiri.
- Tingkah laku yang diinginkan pendidik, diberi hadiah, dan sebaiknya hadiah diberikan dengan digunakannya jadwal variabel Rasio rein forcer.
- Dalam pembelajaran digunakan shaping.
D. Robert Gagne ( 1916-2002).
Gagne adalah seorang psikolog pendidikan berkebangsaan amerika yang
terkenal dengan penemuannya berupa condition of learning. Gagne pelopor dalam
instruksi pembelajaran yang dipraktekkannya dalam training pilot AU Amerika. Ia
kemudian mengembangkan konsep terpakai dari teori instruksionalnya untuk
mendisain pelatihan berbasis komputer dan belajar berbasis multi media. Teori
Gagne banyak dipakai untuk mendisain software instruksional.
Gagne disebut sebagai Modern Neobehaviouris mendorong guru untuk
merencanakan instruksioanal pembelajaran agar suasana dan gaya belajar dapat
dimodifikasi. Ketrampilan paling rendah menjadi dasar bagi pembentukan
kemampuan yang lebih tinggi dalam hierarki ketrampilan intelektual. Guru harus
mengetahui kemampuan dasar yang harus disiapkan. Belajar dimulai dari hal yang
paling sederhana dilanjutnkanpada yanglebih kompleks ( belajar SR, rangkaian
SR, asosiasi verbal, diskriminasi, dan belajar konsep) sampai pada tipe belajar
yang lebih tinggi(belajar aturan danpemecahan
masalah). Prakteknya gaya belajar tersebut tetap mengacu pada asosiasi
stimulus respon.
E. Albert Bandura (1925-masih hidup).
Bandura lahir pada tanggal 4 Desember 1925 di Mondare alberta berkebangsaan Kanada. Ia seorang
psikolog yang terkenal dengan teori belajar sosial atau kognitif sosial serta
efikasi diri. Eksperimennya yang sangat terkenal adalah eksperimen Bobo Doll
yang menunjukkan anak meniru secara persis perilaku agresif dari orang dewasa
disekitarnya.
Faktor-faktor yang berproses dalam belajar observasi adalah:
1. Perhatian,
mencakup peristiwa peniruan dan karakteristik pengamat.
2. Penyimpanan
atau proses mengingat, mencakup kode pengkodean simbolik.
3. Reprodukdi
motorik, mencakup kemampuan fisik, kemampuan meniru, keakuratan umpan balik.
4. Motivasi,
mencakup dorongan dari luar dan penghargaan terhadap diri sendiri.
Selain itu juga
harus diperhatikan bahwa faktor model atau teladan mempunyai prinsip prinsip
sebgai berikut:
- Tingkat tertinggi belajar dari pengamatan diperoleh dengan cara mengorganisasikan sejak awal dan mengulangi perilaku secara simbolik kemudian melakukannya.
- Individu lebih menyukai perilaku yang ditiru jika sesuai dengan nilai yang dimilikinya.
- Individu akan menyukai perilaku yang ditiru jika model atau panutan tersebut disukai dan dihargai dan perilakunya mempunyai nilai yang bermanfaat.
Karena
melibatkan atensi, ingatan dan motifasi, teori Bandura dilihat dalam kerangka
Teori Behaviour Kognitif. Teori belajar sosial membantu memahami terjadinya
perilaku agresi dan penyimpangan
psikologi dan bagaimana memodifikasi perilaku.
Teori Bandura
menjadi dasar dari perilaku pemodelan yang digunakan dalam berbagai pendidikan
secara massal.
Aplikasi Teori Behavioristik terhadap Pembelajaran Siswa
Hal-hal yang
harus diperhatikan dalam menerapkan teori behavioristik adalah ciri-ciri kuat
yang mendasarinya yaitu:
a. Mementingkan
pengaruh lingkungan
b. Mementingkan
bagian-bagian
c. Mementingkan
peranan reaksi
d. Mengutamakan
mekanisme terbentuknya hasil belajar melalui prosedur stimulus respon
e. Mementingkan
peranan kemampuan yang sudah terbentuk sebelumnya
f.
Mementingkan pembentukan kebiasaan melalui
latihan dan pengulangan
g. Hasil
belajar yang dicapai adalah munculnya perilaku yang diinginkan.
Sebagai
konsekuensi teori ini, para guru yang menggunakan paradigma behaviorisme akan
menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap, sehingga tujuan
pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru
tidak banyak memberi ceramah, tetapi instruksi singkat yng diikuti contoh-contoh
baik dilakukan sendiri maupun melalui simulasi. Bahan pelajaran disusun secara
hierarki dari yang sederhana samapi pada yang kompleks.
Tujuan
pembelajaran dibagi dalam bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu
ketrampilan tertentu. Pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur
dan diamati. Kesalahan harus segera diperbaiki. Pengulangan dan latihan
digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang
diharapkan dari penerapan teori behavioristik ini adalah tebentuknya suatu
perilaku yang diinginkan. Perilaku yang diinginkan mendapat penguatan positif
dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negatif. Evaluasi atau
penilaian didasari atas perilaku yang tampak.
Kritik terhadap
behavioristik adalah pembelajaran siswa yang berpusat pada guru, bersifaat
mekanistik, dan hanya berorientasi pada hasil yang dapat diamati dan diukur.
Kritik ini sangat tidak berdasar karena penggunaan teori behavioristik
mempunyai persyartan tertentu sesuai dengan ciri yang dimunculkannya. Tidak
setiap mata pelajaran bisa memakai metode ini, sehingga kejelian dan kepekaan
guru pada situasi dan kondisi belajar sangat penting untuk menerapkan kondisi
behavioristik.
Metode
behavioristik ini sangat cocok untuk perolehan kemampaun yang membuthkan
praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti :
Kecepatan,
spontanitas, kelenturan, reflek, daya tahan dan sebagainya, contohnya:
percakapan bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan komputer, berenang,
olahraga dan sebagainya. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih
anak-anak yang masih membutuhkan dominansi peran orang dewasa, suka mengulangi
dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan
langsung seperti diberi permen atau pujian.
Penerapan teori
behaviroristik yang salah dalam suatu situasi pembelajaran juga mengakibatkan
terjadinya proses pembelajaran yang sangat tidak menyenangkan bagi siswa yaitu
guru sebagai central, bersikap otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru
melatih dan menentukan apa yang harus dipelajari murid. Murid dipandang pasif ,
perlu motivasi dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan
guru. Murid hanya mendengarkan denga tertib penjelasan guru dan menghafalkan
apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif. Penggunaan
hukuman yang sangat dihindari oelh para tokoh behavioristik justru dianggap
metode yang paling efektif untuk menertibkan siswa.
A. Pengertian
Belajar menurut Teori Behavioristik
Teori behavioristik didukung oleh
Thorndike, Watson, Edwin Guthrie, Clark Hull dan Skinner.
Menurut teori behavioristik Belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman
(Gage, Berliner, 1984). Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara
stimulus dan respon (Slavin, 2000). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu
jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam
belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa
respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa, sedangkan
respon berupa reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh
guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting
untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang
dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan
oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh siswa (respon) harus dapat diamati
dan diukur.
Faktor
lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan
(reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka
respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan
(negative reinforcement) maka responpun akan semakin kuat.
B.
Aplikasi
Teori Behavioristik dalam Pembelajaran
Aplikasi
teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal
seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar,
media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan
berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif,
pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi,
sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah
memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar
atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur
pengetahuan yang sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan
dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan
oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pembelajar diharapkan akan
memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa
yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Demikian
halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu
membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para
pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan
standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para
pebelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pebelajar diukur hanya
pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak
teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi. Karena teori behavioristik
memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka orang yang
belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih
dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam
belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan
disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan
dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar
atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah.
Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan
belajar. Peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan,
sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar.
Tujuan
pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan
pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut pelajar
untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk
laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada
ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke
keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga
aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan
penekanan pada keterampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib
tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi
menekankan pada respon pasif, keterampilan secara terpisah, dan biasanya
menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang
benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan
guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya.
Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan
pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran.
Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.
C.
Perbandingan
Konsep antara Teori Behavioristik dan Konsep Pendidikan Islam
a.)
Konsep
Teori Behavioristik
Pada
hakikatnya teori behavioristik menitik beratkan pada pada penambahan
pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut
pelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam
bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan
pada keterampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari
bagian ke keseluruhan. Implikasi dari teori
behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak
yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan
kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat
otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan
seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk
berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka. menggunakan
standart-standart tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh
para siswa. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar siswa diukur hanya pada
hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat
unobservable kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi
dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan
ruang gerak yang bebas bagi siswa untuk berkreasi, bereksperimentasi dan
mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut
bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga
terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya siswa kurang mampu untuk
berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa sebagai pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka siswa atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin.
Karena teori behavioristik memandang bahwa sebagai pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka siswa atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin.
Kegagalan
atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai
kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan
dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga,
ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Siswa atau
peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga
kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri siswa
(Degeng, 2006).
b.) Konsep Pendidikan Islam
Untuk
mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang konsep pendidikan Islam maka
terlebih dahulu kita harus memaknai pengertian dasar “pendidikan”
dan “Islam”. Kata “pendidikan” dalam bahasa Arab disebut Al-Tarbiyah berasal
dari kata “robba-yarubbi-tarbiyyatun” yang berarti tumbuh dan berkembang.
Ahmad Warson di dalam analaisanya mengemukakan bahwa tarbiyah berarti namaa,
wazaada atau tumbuh dan bertambah.
Selanjutnya menurut Ibnu Manzhur yang pernah merekam bentuk tarbiyah
bersama bentuk lain, dari akar kata “roba” dan “robba” yang maknanya sama
dengan akar kata “ghodza” dan “ghodwa” yang maknanya menurut al-jauhari berarti
member makan, memelihara dan mengasuh.
Menurut
Muhammad Al-Naquib al-Attas kata tarbiyyah pada dasarnya mengandung arti
mengasuh, menanggung, member makan, mengembangkan, memelihara, membuat,
menjadikan bertambah dalam pertumbuhan, membesarkan, memproduksi hasil-hasil
yang sudah matang, dan menjinakkan. Jika ndalam konteks Islam adalah sesuatu
yang khusus hanya untuk manusia, maka kesemuanya itu merupakan bukan pekerjaan
mendidik bagi manusia dan bukan merupakan unsure bawaan konsep tarbiyyah dalam
konotasinya yang sekarang. Istilah tarbiyyah dalam konotasinya yang sekarang
merupakan istilah yang relatif baru yang ingin mengaitkan dirinya dengan
pemikiran modern. Ungkapan pendidikan tersebut tanpa memperhatikan sifat yang
sebenarnya, karena mirip dengan makna pendidikan dalam istilah education
menurut artian orang Barat yang secara konseptual diartikan proses menghasilkan
dan mengembangkan. Pengertian disini mengacu pada segala sesuatu yang bersifat
fisik dan material. Kendatipun diakui pula bahwa latihan-latihan intelektual
dan moral telah tercakup di dalam education dan merupakan suatu tambahan yang
dikembangkan dari spekulasi filosofis tentang etika, yang disesuiakan dengan
tujuan fisik dan material yang berhubungan dengan manusia sekuler, masyarakat
dan negaranya. Beberapa contoh ayat-ayat Al-qur’an yang berhubungan dengan kata
tarbiyyah dalam firman Allah yang artinya:
Artinya : Dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka
keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".
Ciri
khas pendidikan Islam meliputi : 1. Tujuannya membentuk individu yang bercorak
diri tertinggi menurut ukuran Allah SWT, 2. Isi pendidikannya: ajaran Allah
yang tercantum dengan lengkap di dalam Al-Qur’an yang pelaksanaannya ke dalam
kehidupan sehari-hari sebagaimana yang dicontohkan Muhammad SAW. Dari sini
diharapkan peserta didik mampu memiliki corak tertinggi dengan kemampuan akal
yang besar yang mampu memberikan kejelasan tujuan hidupnya yaitu beribadah
kepada Allah SWT dengan menggali isi Al-Qur’an. Di dalam pendidikan Islam
ditanam keseimbangan antara intelektual, emosi, dan spiritual secara mendalam
dengan tujuan pokok mengenali dirinya sehingga mampu mengenali Allah SWT.
A.
PENGERTIAN DAN TUJUAN KONSTRUKTIVISME
Menurut
faham konstruktivis pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) dari orang
yang mengenal sesuatu (skemata). Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari guru
kepada orang lain, karena setiap orang mempunyai skema sendiri tentang apa yang
diketahuinya. Pembentukan pengetahuan merupakan proses kognitif di mana terjadi
proses asimilasi dan akomodasi untuk mencapai suatu keseimbangan sehingga
terbentuk suatu skema (jamak: skemata) yang baru.Seseorang yang belajar itu
berarti membentuk pengertian atau pengetahuan secara aktif dan terus-menerus
(Suparno, 1997).
Kontruksi
berarti bersifat membangun, dalam konteks filsafat pendidikan, Konstruktivisme
adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern.Konstruktivisme merupakan
landasan berfikir (filosofi) pembelajaran konstektual yaitu bahwa pengetahuan
dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui
konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah
seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan
diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui
pengalaman nyata.Sedangkan menurut Tran Vui Konstruktivisme adalah suatu
filsafat belajar yang dibangun atas anggapan bahwa dengan memfreksikan pengalaman-pengalaman sendiri.sedangkan teori
Konstruktivisme adalah sebuah teori yang memberikan kebebasan terhadap manusia
yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya dengan kemampuan untuk menemukan
keinginan atau kebutuhannya tersebut denga bantuan fasilitasi orang lain.
Dari
keterangan diatas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa teori ini memberikan
keaktifan terhadap manusia untuk belajar menemukan sendiri kompetensi,
pengetahuan atau teknologi, dan hal lain yang diperlukan guna mengembangkan
dirinya sendiri.Adapun tujuan dari teori ini dalah sebagai berikut:
·
Adanya motivasi untuk siswa
bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri.
·
Mengembangkan kemampuan siswa
untuk mengejukan pertanyaan dan mencari sendiri pertanyaannya.
·
Membantu siswa untuk
mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap.
·
Mengembangkan kemampuan siswa
untuk menjadi pemikir yang mandiri.
·
Lebih menekankan pada proses
belajar bagaimana belajar itu.
Salah
satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar
konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga
disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori
belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas
dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap
perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu
dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak
berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).
Selanjutnya,
Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan
bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan
akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan,
akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru,
sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988: 133). Pengertian
tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan
skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah
ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7).
Konstruktivis ini
dikritik oleh Vygotsky, yang menyatakan bahwa siswa dalam mengkonstruksi suatu
konsep perlu memperhatikan lingkungan sosial. Konstruktivisme ini oleh
Vygotsky disebut konstruktivisme sosial (Taylor, 1993; Wilson, Teslow dan
Taylor,1993; Atwel, Bleicher & Cooper, 1998).
Ada
dua konsep penting dalam teori Vygotsky (Slavin, 1997), yaitu Zone of
Proximal Development (ZPD) dan scaffolding.
·
Zone of Proximal Development
(ZPD) merupakan jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang
didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat
perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah
di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat
yang lebih mampu.
·
Scaffolding merupakan
pemberian sejumlah bantuan kepada siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran,
kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih
tanggung jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya (Slavin,
1997). Scaffolding merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa
untuk belajar dan memecahkan masalah. Bantuan tersebut dapat berupa
petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah
pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan
siswa itu belajar mandiri.
Pendekatan
yang mengacu pada konstruktivisme sosial (filsafat konstruktivis sosial)
disebut pendekatan konstruktivis sosial. Filsafat konstruktivis sosial
memandang kebenaran matematika tidak bersifat absolut dan mengidentifikasi
matematika sebagai hasil dari pemecahan masalah dan pengajuan masalah (problem
posing) oleh manusia (Ernest, 1991). Dalam pembelajaran matematika,
Cobb, Yackel dan Wood (1992) menyebutnya dengan konstruktivisme
sosio (socio-constructivism), siswa berinteraksi dengan guru, dengan
siswa lainnya dan berdasarkan pada pengalaman informal siswa mengembangkan
strategi-strategi untuk merespon masalah yang diberikan. Karakteristik
pendekatan konstruktivis sosio ini sangat sesuai dengan karakteristik RME.
B. KELEBIHAN DAN KELEMAHAN TEORI KONSTRUTIVISME
1. Kelebihan
- Berfikir dalam proses membina pengetahuan baru, murid berfikir untuk menyelesaikan masalah, menjana idea dan membuat keputusan.
- Faham :Oleh kerana murid terlibat secara langsung dalam mebina pengetahuan baru, mereka akan lebih faham dan boleh mengapliksikannya dalam semua situasi.
- Ingat :Oleh kerana murid terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep. Yakin Murid melalui pendekatan ini membina sendiri kefahaman mereka. Justeru mereka lebih yakin menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam situasi baru.
- Kemahiran sosial :Kemahiran sosial diperolehi apabila berinteraksi dengan rakan dan guru dalam membina pengetahuan baru.
- Seronok :Oleh kerana mereka terlibat secara terus, mereka faham, ingat, yakin dan berinteraksi dengan sihat, maka mereka akan berasa seronok belajar dalam membina pengetahuan baru.
2. Kelemahan
Dalam
bahasan kekurangan atau kelemahan ini mungkin bisa kita lihat dalam proses
belajarnya dimana peran guru sebagai pendidik itu sepertinya kurang begitu
mendukung.
C. PROSES BELAJAR MENURUT
KONSTRUKVISTIK
Pada
bagian ini akan dibahas proses belajar dari pandangan kontruktifistik dan dari
aspek-aspek si belajar, peranan guru, sarana belajar, dan evaluasi belajar.
1.
Proses belajar kontruktivistik
secara konseptual proses belajar jika dipandang dari pendekatan kognitif, bukan
sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar kedalam diri
siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara
pada pemuktahiran struktur kognitifnya. Kegiatan belajar lebih dipandang dari
segi rosesnya dari pada segi perolehan pengetahuan dari pada fakta-fakta yang
terlepas-lepas.
2.
Peranan siswa. Menurut
pandangan ini belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan.
Pembentukan ini harus dilakukan oleh si belajar. Ia harus aktif melakukan
kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep, dan memberi makna tentang hal-hal
yang sedang dipelajari. Guru memang dapat dan harus mengambil prakarsa untuk
menata lingkungan yang memberi peluang optimal bagi terjadinya belajar. Namun
yang akhirnya paling menentukan adalah terwujudnya gejala belajar adalah niat
belajar siswa itu sendiri.
3.
Peranan guru. Dalam pendekatan
ini guru atau pendidik berperan membantu agar proses pengkontruksian
pengetahuan oleh siswa berjalan lancar. Guru tidak mentransferkan pengetahuan
yang telah dimilikinya, melainkan membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya
sebdiri.
4.
Sarana belajar. Pendekatan ini
menekankan bahwa peranan utama dalam kegiatan belajar adalah aktifitas siswa
dalam mengkontruksi pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti bahan,
media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu
pembentukan tersebut.
5.
Evaluasi. Pandangan ini
mengemukakan bahwa lingkungan belajar sangat mendukung munculnya berbagai
pandangan dan interpretasi terhadap realitas, kontruksi pengetahuan, serta
aktifitas-aktifitas lain yang didasarkan pada pengalaman.
D. HUBUNGAN KONSTRUKTIVISME DENGAN TEORI BELAJAR LAIN
Selama
20 tahun terakhir ini konstruktivisme telah banyak mempengaruhi pendidikan
Sains dan Matematika di banyak negara Amerika, Eropa, dan Australia. Inti teori
ini berkaitan dengan beberapa teori belajar seperti teori Perubahan Konsep,
Teori Belajar Bermakna dan Ausuble, dan Teori Skema.
1. Teori
Belajar Konsep
Dalam
banyak penelitian diungkapkan bahwa teori petubahan konsep ini dipengaruhi atau
didasari oleh filsafat kostruktivisme. Konstruktivisme yang menekankan bahwa
pengetahuan dibentuk oleh siswa yang sedang belajar, dan teori perubahan konsep
yang menjelaskan bahwa siswa mengalami perubahan konsep terus menerus, sangat
berperan dalam menjelaskan mengapa seorang siswa bisa salah mengerti dalam
menangkap suatu konsep yang ia pelajari. Kostruktivisme membantu untuk mengerti
bagaimana siswa membentuk pengetahuan yang tidak tepat.Dengan demikian, seorang
pendidik dibantu untuk mengarahkan sisiwa dalam pembentukan pengetahuan mereka
yang lebih tepat. Teori perubahan konsep sangat membantu karena mendorong
pendidik agar menciptakan suasana dan keadaan yang memungkinkan perubahan
konsep yang kuat pada murid sehingga pemahaman mereka lebih sesuai dengan
ilmuan. Konstrutivisme dan Teori Perubahan Konsep memberikan pengertian bahwa
setiap orang dapat membentuk pengertian yang berbeda tersebut bukanlah akhir
pengembangan karena setiap kali mereka masih dapat mengubah pengertiannya
sehingga lebih sesuai dengan pengertian ilmuan. “Salah pengrtian” dalam
memahami sesuatu, menurut Teori Konstruktivisme dan teori Perubahan Konsep,
bukanlah akhir dari segala-galanyamelainkan justru menjadi awal untuk
pengembangan yang lebih baik
.
2. Teori Bermakna Ausubel
Menurut
Ausubel, seseorang belajar denga mengasosiasikan fenomena baru ke dalam sekema
yang telah ia punya. Dalam proses itu seseorang dapat memperkembangkan sekema
yang ada atau dapat mengubahnya. Dalam proses belajar ini siswa mengonstruksi
apa yang ia pelajari sendiri.
Teori
Belajar bermakna Ausuble ini sangat dekat dengan Konstruktivesme. Keduanya
menekankan pentingnya pelajar mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan
fakta-fakta baru kedalam sistem pengertian yang telah dipunyai. Keduanya
menekankan pentingnya asimilasi pengalaman baru kedalam konsep atau pengertian
yang sudah dipunyai siswa. Keduanya mengandaikan bahwa dalam proses belajar itu
siswa aktif.
3.
Teori Skema.
Menurut
teori ini, pengetahuan disimpan dalam suatu paket informasi, atau sekema yang
terdiri dari konstruksi mental gagasan kita. Teori ini lebih menunjukkan bahwa
pengetahuan kita itu tersusun dalam suatu skema yang terletak dalam ingatan
kita. Dalam belajar, kita dapat menambah skema yang ada sihingga dapa t menjadi
lebih luas dan berkembang.
4.
Konstrtivisme, Behaviorisme, dan
Maturasionisme
Konstruktivisme
berbeda dengan Behavorisme dan Maturasionisme. Bila Behaviorisme menekankan
keterampilan sebagai suatu tujuan pengajaran, konstruktivime lebih menekankan
pengembangan konsep dan pengertian yang mendalam. Bila Maturasionisme lebih
menekankan pengetahuan yang berkembang sesuai dengan langkah–langkah
perkembangan kedewasaan. Konstruktivisme lebih menekankan pengetahuan sebagai
konstruksi aktif sibelajar. Dalam pengertian Maturasionisme, bila seseorang
mengikuti perkembangan pengetahuan yang ada, dengan sendirinya ia akan
menemukan pengetahuan yang lengkap. Menurut Konstruktivisme, bla seseorang
tidak mengkonstruktiviskan pengetahuan secara aktif, meskipun ia berumur tua akan
tetap tidakakan berkembang pengetahuannya.
Dalam
teori ini kreatifitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri
sendiri dalam kehidupan kognitif mereka. Mereka akan terbantu menjadi orang
yang kritis menganalisis sesuatu hal karena mereka berfikir dan bukan meniru
saja.Kadang–kadang orang menganggap bahwa konstruktivisme sama dengan Teori
Pencarian Sendiri (Inguiry Approach) dalam belajar. Sebenarnya kalau kita lihat
secara teliti, kedua teori ini tidak sama. Dalam banyak hal mereka punya
kesamaan,seperti penekanan keaktifan siswa untuk memenuhi suatu hal. Dapat terjadi
bahwa metode pencarian sendiri memang merupakan metode konstruktivisme tetapi
tidak semua semua konstruktivis dengan metode pencarian sendiri. Dalam
konstruktivisme terlibih yang personal sosial, justru dikembangkan belajar
bersama dalam kelompok. Hal ini yang tidak ada dalam metode mencari sendiri.
Bahkan, dalam praktek metode pencarian sendiri tidak memungkinkan siswa
mengkonstruk pengetahuan sendiri, karena langkah-langkah pencarian dan
bagaimana pencarian dilaporkan dan dirumuskan sudah dituliskan sebelumnya.
TEORI BELAJAR
KONSTRUKTIVISME
Selama 20 tahun terakhir ini
konstruktivisme telah banyak mempengaruhi pendidikan Sains dan Matematika di
banyak negara Amerika, Eropa, dan Australia. Inti teori ini berkaitan dengan
beberapa teori belajar seperti Teori Belajar Konsep, Teori Belajar Bermakna dan
Ausuble, dan Teori Skema.
A. Teori Belajar Konsep
I.
Teori belajar konsep
dan penerapannya di dalam kelas
Hal yang harus disadari saat ini adalah
pentingnya belajar konsep tentang sesuatu. Konsep yang dimaksud disini tidak
lain dari kategori-kategori yang kita berikan dari stimulus atau rangsangan
yang ada di lingkungan kita. Konsep yang ada di dalam struktur kognitif
individu merupakan hasil dari pengalaman yang ia peroleh. Jika keadaannya
demikian, sebagian konsep yang dimiliki individu merupakan hasil dari proses
belajar yang mana proses hasil dari proses belajar ini akan menjadi pondasi
(building blocks) dalam struktur berpikir individu. Konsep-konsep inilah yang
dijadikan dasar oleh seseorang dalam memecahkan masalah, mengetahui
aturan-aturan yang relevan, dan hal-hal lain yang ada keterkaitannya dengan apa
yang harus dilakukan oleh individu.
Definisi konsep menurut sebagian besar
orang adalah sesuatu yang diterima dalam pikiran atau ide yang umum dan
abstrak. Menurut salah satu ahli, konsep adalah suatu abstraksi yang mewakili
suatu kelas objek, kejadian, kegiatan, atau hubungan yang mempunyai atribut
yang sama (Croser, 1984).
Tujuh
dimensi konsep menurut Flavell (1970) adalah:
1. atribut
2. struktur
3. keabstrakan
4. keinklusifan
5. generalitas/keumuman
6. ketepatan
7. kekuatan atau power
II.
Cara individu
memperoleh konsep-konsep
Menurut
teori Ausubel (1968), individu memperoleh konsep melalui dua cara, yaitu
melalui formasi konsep dan asimilasi konsep. Formasi konsep menyangkut cara
materi atau informasi diterima peserta didik. Formasi konsep diperoleh individu
sebelum ia masuk sekolah, karena proses perkembangan konsep yang diperoleh
semasa kecil termodifikasi oleh pengalaman sepanjang perkembangan individu. Formasi
konsep merupakan proses pembentukan konsep secara induktif dan merupakan suatu
bentuk belajar menemukan (discovery learning) melalui proses diskriminatif,
abstraktif dan diferensiasi. Contoh pemerolehan konsep pada anak adalah ketika
anak melihat benda atau orang yang ada di lingkungan terdekatnya. Misalnya,
pada saat seorang anak yang baru berumur 2 tahun memanggil Bapak dan Ibunya
pertama kali karena setiap hari Bapak dan Ibunya selalu bersama-sama anak
tersebut. Anak menyebut diri yang memandikan dan meninabobokkan saat tidur
adalah Ibu dan menggendong serta mengajaknya bermain adalah Bapak.
Sedangkan asimilasi konsep menyangkut
cara bagaimana peserta didik dapat mengaitkan informasi atau materi pelajaran
dengan struktur kognitif yang telah ada. Asimilasi konsep terjadi setelah anak
mulai memasuki bangku sekolah. Asimilasi konsep ini terjadi secara deduktif.
Biasanya anak diberi atribut sehingga mereka belajar konseptual, misalnya
atribut dari gajah adalah hewan dan belalai. Dengan demikian anak dapat
membedakan antara konsep gajah dengan hewan-hewan lain
III.
Tingkat - tingkat
pencapaian konsep
Empat tingkat pencapaian konsep menurut
Klausmeier (Dahar, 1996:88) adalah sebagai berikut:
Ø Tingkat konkret
Pencapaian
tingkat ini ditandai dengan adanya pengenalan anak terhadap suatu benda yang
pernah ia kenal. Misalnya pada suatu saat anak bermain kelereng dan pada waktu
yang lain dengan tempat yang berbeda ia menemukan lagi kelereng, lalu ia bisa
mengidentifikasi bahwa itu adalah kelereng maka anak tersebut sudah mencapai
tingkat konkret. Dengan demikian dapat dikatakan juga anak mampu membedakan
stimulus yang ada di lingkungannya terhadap kelereng tersebut. Pada saat ini
anak sudah mampu menyimpan gambaran mental dalam struktur kognitifnya.
Ø Tingkat identitas
Seseorang dapat
dikatakan telah mencapai tingkat konsep identitas apabila ia mengenal suatu
objek setelah selang waktu tertentu, memiliki orientasi ruang yang berbeda
terhadap objek itu, atau bila objek itu ditentukan melalui suatu cara indra
yang berbeda. Misalnya mengenal kelereng dengan cara memainkannya, bukan hanya
dengan melihatnya lagi.
Ø Tingkat klasifikatori
Pada tingkat ini
anak sudah mampu mengenal persamaan dari contoh yang berbeda tetapi dari kelas
yang sama. Misalnya anak mampu membedakan antara apel yang masak dengan apel
yang mentah.
Ø Tingkat forma
Pada tingkat ini
anak sudah mampu membatasi suatu konsep dengan konsep lain, membedakannya,
menentukan ciri-ciri, memberi nama atribut yang membatasinya, bahkan sampai
mengevaluasi atau memberikan contoh secara verbal.
IV.
Hubungan teori belajar
konsep dengan konstruktivisme
Dalam banyak penelitian diungkapkan
bahwa teori petubahan konsep ini dipengaruhi atau didasari oleh filsafat
kostruktivisme. Konstruktivisme yang menekankan bahwa pengetahuan dibentuk oleh
siswa yang sedang belajar, dan teori perubahan konsep yang menjelaskan bahwa
siswa mengalami perubahan konsep terus menerus, sangat berperan dalam
menjelaskan mengapa seorang siswa bisa salah mengerti dalam menangkap suatu
konsep yang ia pelajari. Kostruktivisme membantu untuk mengerti bagaimana siswa
membentuk pengetahuan yang tidak tepat.
Dengan demikian, seorang pendidik
dibantu untuk mengarahkan sisiwa dalam pembentukan pengetahuan mereka yang
lebih tepat. Teori perubahan konsep sangat membantu karena mendorong pendidik
agar menciptakan suasana dan keadaan yang memungkinkan perubahan konsep yang
kuat pada murid sehingga pemahaman mereka lebih sesuai dengan ilmuan.
Konstrutivisme dan Teori Perubahan Konsep memberikan pengertian bahwa setiap
orang dapat membentuk pengertian yang berbeda tersebut bukanlah akhir
pengembangan karena setiap kali mereka masih dapat mengubah pengertiannya
sehingga lebih sesuai dengan pengertian ilmuan. “Salah pengrtian” dalam
memahami sesuatu, menurut Teori Konstruktivisme dan teori Perubahan Konsep,
bukanlah akhir dari segala-galanya melainkan justru menjadi awal untuk
pengembangan yang lebih baik.
B. Teori Bermakna Ausubel
I.
Biografi Ausubel
David
Ausubel adalah seorang fsikoloq Amerika yang melakukan kerja sarjana di
Uiversity of Pennsylvanian (pra-kedokteran dan psikologi). Dia lulus dari
sekolah kedokteran di Midldlesex University. Kemudian ia mendapat
gelar Ph.D. dalam Developmental Psychology di Colombia University. Dia
dipengaruhi oleh karya Piaget. Ia menjabat di fakultas beberapa universitas dan
pensiun dari kehidupan akademik pada tahun 1973 dan memulai praktek di
psikiatri. Dr. Ausubel menerbitkan beberapa buku dalam psikologi perkembangan
dan pendidikan, dan lebih dari 150 artikel jurnal, ia dianugrahi Thorndike
Award untuk “Terhormat Kontribusi Psikologi Pendidikan” oleh American
Psycological Association (1976).
Teori
Ausubel adalah teori-teori yang sangat relevan bagi para pendidik, dianggap
neobehaviorisb dilihat tidak memadai. Meskipun ia mengetahui bentuk-bentuk lain
pembelajaran, karyanya terfokus pada pembelajaran verbal. Ia berurusan dengan
hakikat makna, dan prcaya bahwa dunia luar yang berat hanya memperoleh seperti
yang diubah menjadi isi kesadaran oleh peserta didik.
II.
Teori belajar bermakna
menurut Ausubel
Teori belajar Ausubel dikenal dengan
nama Teori Belajar Bermakna. Menurut Ausubel dalam (Dahar, 1988: 134) belajar
dapat diklasifikasikan ke dalam dua dimensi yaitu:
1. Dimensi pertama berhubungan dengan cara
informasi atau materi disajikan pada siswa, melalui penemuan atau penerimaan.
2. Dimensi kedua berkaitan dengan bagaimana cara
siswa dapat mengaitkan informasi atau materi pelajaran pada struktur kognitif
yang telah dimilikinya, ini berarti belajar bermakna. Akan tetapi jika siswa
hanya mencoba-coba menghapal informasi baru tanpa menghubungkan dengan
konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitifnya, makadalam hal ini
terjadi belajar hafalan, dimana belajar menghapal dibutuhkan untuk memperoleh
informasi baru seperti defenisi.
Faktor-faktor utama yang mempengaruhi
belajar bermakna menurut Ausubel adalah struktur
kognitif yang ada, stabilitas, dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang
studi tertentu dan pada waktu tertentu.
inti dari teori belajar bermakna
Ausubel adalah proses belajar akan mendatangkan hasil atau bermakna kalau guru
dalam menyajikan materi pelajaran yang
baru dapat menghubungkan dengan konsep yang relevan yang sudah ada dalam
struktur kognisi siswa. Langkah-langkah yang biasa digunakan guru untuk
menerapkan belajar bermakna Ausubel adalah sebagia berikut:
ü Advance
organizer
ü Progressive
differensial
ü Integrative
reconciliation
ü Consolidation
III.
Teori Ausubel Tentang Belajar Bermakna
(meaningful)
Ausubel
mengemukakan bahwa belajar dikatakan bermakna jika informasi yang dipelajari
peserta didik disusun sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki peserta
didik sehingga peserta didik dapat mengaitkan informasi barunya dengan struktur
kognitif yang dimilikinya.
Ausubel juga menyatakan bahwa agar
belajar bermakna terjadi dengan baik dibutuhkan beberapa syarat, yaitu:
a. Materi yang dipelajari harus bermakna
secara potensial,
b. Anak yang akan belajar harus bertujuan
melaksanakan belajar bermakna sehingga mempunyai kesiapan dan niat untuk
belajar bermakna.
Lebih lanjut Ausubel mengatakan ada
tiga kebaikan dari belajar bermakna,
yaitu:
1. Informasi yang dipelajari secara lebih lama
dapat diingat,
2. Informasi yang dipelajari secara bermakna
memudahkan proses belajar berikutnya untuk
materi pelajaran yang mirip,
3. Informasi yang dipelajari secara bermakna
mempermudah belajar hal-hal yang mirip walaupun terjadi lupa.
Teori Ausubel berkaitan dengan
bagaimana individu belajar bermakna dalam jumlah besar bahan dari
verbal/tekstual presentasi dalam lingkungan sekolah (berbeda dengan teori-teori
dikembangkan dalam konteks percobaan laboratorium). Menurut Ausubel proses
utama dalam belajar adalah dimana materi baru terkait dengan gagasan-gagasan
yang relevan dalam struktur kognitif yang ada pada sebuah substantive, kata
demi kata non-dasar. Struktur kognitif mewakili residu dari semua pengalaman
belajar, lupa terjadi karena rincian tertentu mendapatkan terintegrasi dan
kehilangan identitas masing-masing.
Ausubel menerangkan bahwa penyelenggara
muka berbeda dari ikhtisar dari ringkasan yang hanya menekankan ide utama dan
disajikan pada tingkat yang sama abstrak dan generalisasi sebagai sisa
material. Penyelenggara bertindak sebagai jembatan antara subsumption materi pembelajaran
baru dan yang sudah ada ide-ide yang terkait.
Teori ini mempunyai konsep dasar Belajar
bermakna terjadi bila organisme mengasimilasikan pengetahuan yang dipelajarinya
dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelunya.
IV.
Hubungan teori bermakna
Ausubel dengan Konstruktivisme
Menurut Ausubel, seseorang belajar
denga mengasosiasikan fenomena baru ke dalam sekema yang telah ia punya. Dalam
proses itu seseorang dapat memperkembangkan sekema yang ada atau dapat
mengubahnya. Dalam proses belajar ini siswa mengonstruksi apa yang ia pelajari
sendiri.
Teori Belajar bermakna Ausuble ini
sangat dekat dengan Konstruktivesme. Keduanya menekankan pentingnya pelajar
mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru kedalam sistem
pengertian yang telah dipunyai. Keduanya menekankan pentingnya asimilasi
pengalaman baru kedalam konsep atau pengertian yang sudah dipunyai siswa.
Keduanya mengandaikan bahwa dalam proses belajar itu siswa aktif.
C. Teori Belajar Skema
I.
Pengertian dan defenisi
teori belajar skema
Istilah “skema” sebenarnya bukan hal
yang baru bagi kita. Kata ini sudah lama milik bahasa Indonesia (merupakan kata
serapan yang berasal dari bahasa Inggris ‘schema’). Di dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), kata ‘skema’merupakan padanan dari ‘bagan’, ‘rangka-rangka’,
‘rancangan’. Ada beberapa sumber yang menjelaskan pengertian skema ini.
Keterangan yang cukup lengkap dikemukakan oleh Chaplin (1981) yang terdapat
dalam Dictionary of Psychology. Chaplin mengemukakan empat macam keterangan
tentang skema itu, ialah:
a. skema
sebagai suatu peta kognitif yang terdiri atas sejumlah ide yang tersusun rapi;
b. skema
sebagai kerangka referensi untuk merekam berbagai peristiwa atau data;
c. skema
sebagai suatu model;
d. skema
sebagai suatu kerangka referensi yang terdiri atas respons-respons yang pernah
diberikan, kemudian menjadi standar bagi respons-respons selanjutnya.
Dalam
kamus ‘A Dictionary of Reading’ (1981) dijelaskan tentang makna skema sebagai
berikut.
v Skema
adalah suatu pemberian yag digeneralisasikan, suatu rencana atau struktur,
seperti yang digunakan dalam kalimat “Skema proses membaca setiap orang boleh
dikatakan tidak pernah sama”.
v Skema
adalah suatu sistem yang konseptual yang perlu untuk memahami sesuatu.
Contoh, skema
tentang kebudayaan yang dimiliki oleh si A dapat menolong pemahamannya dalam
bidang bahasa.
v Skema
adalah suatu cerita yang melahirkan kenyataan yang disimpan dalam pikiran,
tetapi tidak ditransformasikan lewat pikiran (Piaget).
Dari sejumlah pengertian skema di atas,
kita dapat menangkap pengertian yang sederhana tentang skema itu, yakni sebagai
latar belakang atau asosiasi-asosiasi yang dapat bangkit dan muncul/membayang
kembali pada saat seseorang melihat atau membaca kata, frasa, atau kalimat.
Dengan demikian, skema sangat membantu terhadap pemahaman sesuatu yang didengar
atau dibaca. Banyak skema yang dapat kita miliki tentang objek-objek tertentu,
misalnya tempat (sekolah, rumah, pasar, bioskop), berbagai kegiatan (sepak
bola, pertunjukan sandiwara, pesta ulang tahun), tentang peranan (ayah, ibu,
guru, kakak), tentang perasaan (kasih, benci, sayang, senang, bahagia). Waktu
membaca atau mendengar kata “pantai”, pikiran kita mungkin akan mengasosiasikan
atau menghubungkan konsep pantai itu dengan berbagai konsep lain yang dekat hubungannya
dengan pantai, seperti gemuruh ombak, orang yang riang bermain-main dengan air
laut, pohon nyiur yang indah melambai-lambai atau sinar lembayung saat matahari
terbenam. Mungkin juga skema tentang pantai dapat berasosiasi denga rencana
berikutnya untuk pergi ke pantai yang lebih mudah, berkemah di tepi pantai dan
seterusnya. Dengan demikian, skema seseorang tidak akan sama dengan yang
lainnya. Dengan kata lain, skema seseorang sangat bergantung pada pengalaman
yang dimilikinya.
Berdasarkan uraian di atas, bolehlah
kita mengatakan bahwa skema adalah abstraksi pengalaman yang secara tetap
mengalami pemantapan sesuai dengan informasi baru yang diperoleh. Dengan
demikian, semakin banyak pengalaman seseorang semakin bertambah pulalah
penyempurnaan skemanya.
Betaapa penting skema pada seorang
pembaca/pelajar dalam membantu memahami suatu bacaan. Pemahaman terhadap isi
bacaan bergantung pada kemampuan pembaca menghubungkan pengetahuan yang telah
ada dengan informasi yang terdapat dalam teks sehingga terjadi interaksi antara
pengetahuannya dengan informasi baru tersebut. Oleh karena itu, skema yang
telah ada telah dipertahankan/dipelihara, diperkaya, dan dikembangkan untuk
mencapai kesempurnaan. Pengembangan skema dapat dilakukan dengan memberikan
pengalaman sebanyak-banyaknya kepada anak-anak. Semakin banyak pengalaman
mereka maka akan semakin bertambah pulalah penguasaan skemanya. Pengalaman
tersebut dapat berupa kegiatan membaca atau kegiatan lain, seperti karya
wisata, mengunjungi museum, kebun binatang, atau tempat-tempat lainnya.
II.
Hubungan teori skema
dengan konstruktivisme
Menurut teori ini, pengetahuan disimpan
dalam suatu paket informasi, atau sekema yang terdiri dari konstruksi mental
gagasan kita. Teori ini lebih menunjukkan bahwa pengetahuan kita itu tersusun
dalam suatu skema yang terletak dalam ingatan kita. Dalam belajar, kita dapat
menambah skema yang ada sihingga dapa t menjadi lebih luas dan berkembang.
A.
Pengertian Konstruktivisme dan Behaviorisme
1. Pengertian
teori Konstruktivisme
Tokoh
yang berperan pada teori ini adalah Jean Piaget dan Vygotsky. Teori
Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu
tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan aliran
behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat
mekanistik antara stimulus respon, kontruktivisme lebih memahami belajar
sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi
makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamanya.
Konstruktivisme
adalah teori perkembangan mental Piaget yang merupakan bagian dari teori
kognitif juga. Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau
teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan
anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari
lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud
dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan.
Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan
(Ruseffendi, 1988: 132).
Lebih
jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh
seseorang, melainkan melalui tindakan. Belajar merupakan proses untuk membangun
penghayatan terhadap suatu materi yang disampaikan. Bahkan, perkembangan
kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi
dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan
proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan
keseimbangan (Poedjiadi, 1999: 61). Dari pandangan Piaget tentang tahap
perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun
kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan
intelektual anak.
2. Pengertian
teori Behaviorisme
Behaviorisme
merupakan salah satu pendekatan untuk memahami perilaku individu. Behaviorisme
memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan
aspek-aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya
kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa
belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi
kebiasaan yang dikuasai individu. Teori kaum behavoris lebih dikenal dengan
nama teori belajar, karena seluruh perilaku manusia adalah hasil belajar.
Belajar artinya perbahan perilaku organise sebagai pengaruh lingkungan.
Behaviorisme tidak mau mempersoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional
atau emosional, behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunya dikendalikan
oleh faktor-faktor lingkungan.
Pada teori
belajar ini sering disebut S-R psikologis artinya bahwa tingkah laku manusia
dikendalikan oleh ganjaran atau reward dan penguatan atau reinforcement dari
lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang
erat antara reaksi-reaksi behavioural dengan stimulusnya. Guru yang menganut
pandangan ini berpandapat bahwa tingkahlaku siswa merupakan reaksi terhadap
lingkungan dan tingkahl laku adalah hasil belajar.
B.
Tokoh-tokoh Teori
Belajar Behaviorisme
1. Ivan Petrovich Pavlov
(1849-1936)
Ivan Petrovich Pavlov lahir 14 September 1849
di Ryazan Rusia. Ia mengemukakan bahwa dengan menerapkan strategi ternyata
individu dapat dikendalikan melalui cara stimulus alami dengan stimulus yang
tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan, sementara individu
tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar
dirinya. Pavlov mengadakan percobaan laboratories terhadap anjing.
Dalam percobaan ini anjing di beri stimulus bersarat sehingga terjadi reaksi
bersarat pada anjing. Contoh situasi percobaan tersebut pada manusia adalah
bunyi bel di kelas untuk penanda waktu tanpa disadari menyebabkan proses
penandaan sesuatu terhadap bunyi-bunyian yang berbeda dari pedagang makan, bel
masuk, dan antri di bank.
2. Thorndike (1874-1949)
Menurut
Thorndike belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara
peristiwa yang disebut stimulus dan respon. Thorndike menggambarkan proses
belajar sebagai proses pemecahan masalah. Dalam penyelidikannya tentang proses
belajar, pelajar harus diberi persoalan, dalam hal ini Thorndike melakukan
eksperimen dengan sebuah puzzlebox. Eksperimen yang dilakukan adalah dengan
kucing yang dimasukkan pada sangkar tertutup yang apabila pintunya dapat dibuka
secara otomatis bila knop di dalam sangkar disentuh. Percobaan tersebut
menghasilkan teori Trial dan Error. Ciri-ciri belajar dengan Trial dan Error
Yaitu : adanya aktivitas, ada berbagai respon terhadap berbagai situasi, ada
eliminasai terhadap berbagai respon yang salah, ada kemajuan reaksi-reaksi
mencapai tujuan.
3. Skinner (1904-1990)
Skinner menganggap
reward dan reinforcement merupakan faktor penting dalam belajar. Skinner
berpendapat bahwa tujuan psikologi adalah meramal, mengontrol tingkah laku.
Pada teori ini guru memberi penghargaan hadiah atau nilai tinggi sehingga anak
akan lebih rajin. Teori ini juga disebut dengan operant conditioning. Operant
conditioning adalah suatu proses penguatan perilaku operant yang dapat
mengakibatkan perilaku tersebut dapat diulang kembali atau menghilang sesuai
keinginan.
C. Teori Belajar Kognitivisme
Ada
beberapa ahli yang belum merasa puas terhadap penemuan para ahli sebelumnya
mengenai belajar sebagai sebuah proses hubungan
stimulus-response-reinforcement. Mereka berpendapat bahwa tingkah laku
seseorang tidak hanya dikontrol oleh reward dan reinforcement. Menurut mereka
tingkah laku seseorang senantiasa didasarkan pada kognitif, yaitu tindakan
mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi. Dalam situasi
belajar, seseorang terlibat langsung dalam situasi itu dan memperoleh insight
untuk pemecahan masalah. Jadi kaum kognitifis berpandangan, bahwa tingkah laku
seseorang lebih bergantung kepada pemahaman terhadap hubungan – hubungan yang
ada didalam suatu situasi. Mereka memberi tekanan pada organisasi pegamatan
atas stimuli di dalam lingkungan serta pada faktor yang mempengaruhi
pengematran tersebut.
a.
Teori kognitif Gestalt
Teori kognitif mulai berkembang
dengan lahirnya teori belajar gestalt. Peletak dasar teori gestalt adalah Merx
Wertheimer (1880-1943) yang meneliti tentang pengamatan dan problem solving.
Sumbangannya diikuti oleh Kurt Koffka (1886-1941) yang menguraikan secara
terperinci tentang hukum-hukum pengamatan, kemudian Wolfgang Kohler (1887-1959)
yang meneliti tentang insight pada simpase. Kaum gestaltis berpendapat bahwa
pengalaman itu berstuktur yang terbentuk dalam suatu keseluruhan. Menurut
pandangan gestaltis, semua kegiatan belajar menggunakan pemahaman terhadap
hubungan hubungan, terutama hubungan antara bagian dan keseluruhan. Intinya,
menurut mereka, tingkat kejelasan dan keberartian dari apa yang diamati dalam
situasi belajar adalah lebih meningkatkan kemampuan belajar seseorang dari pada
dengan hukuman dan ganjaran.
b.
Teori belajar Cognitive-field dari Lewin
Kurt Lewin (1892-1947) mengembangkan
suatu teori belajar kognitiv-field dengan menaruh perhatian kepada kepribadian
dan psikologi social. Lewin memandang masing-masing individu berada di dalam
suatu medan kekuatan yang bersifat psikologis. Medan dimana individu bereaksi
disebut life space. Life space mencankup perwujudan lingkungan di mana individu
bereaksi, misalnya ; orang – orang yang dijumpainya, objek material yang ia
hadapi serta fungsi kejiwaan yang ia miliki. Jadi menurut Lewin, belajar berlangsung
sebagai akibat dari perubahan dalam struktur kognitif. Perubahan sruktur
kognitif itu adalah hasil dari dua macam kekuatan, satu dari stuktur medan
kognisi itu sendiri, yang lainya dari kebutuhan motivasi internal individu.
Lewin memberikan peranan lebih penting pada motivasi dari reward.
c.
Teori Belajar Cognitive Developmental dari Piaget
Dalam teorinya, Piaget memandang
bahwa proses berpikir sebagai aktivitas gradual dari fungsi intelektual dari
konkret menuju abstrak.
Piaget adalah ahli psikolog
developmentat karena penelitiannya mengenai tahap tahap perkembangan pribadi
serta perubahan umur yang mempengaruhi kemampuan belajar individu. Menurut
Piaget, pertumbuhan kapasitas mental memberikan kemampuan-kemapuan mental yang
sebelumnya tidak ada. Pertumbuhan intelektuan adalah tidak kuantitatif,
melainkan kualitatif. Pada intinya, perkembangan kognitif bergantung kepada
akomodasi. Kepada siswa harus diberikan suatu area yang belum diketahui agar ia
dapat belajar, karena ia tak daapat belajar dari apa yang telah diketahuinya.
Menurut Piaget setiap anak
mengembangkan kemampuan berpikirnya menurut tahap yang teratur. Pada satu tahap
perkembangan tertentu akan muncul skema atau struktur tertentu yang
keberhasilannya pada setiap tahap amat bergantung pada tahap sebelumnya. Adapun
tahapan-tahapan tersebut adalah:
a. Tahap Sensori Motor(dari lahir sampai kurang
lebih umur dua tahun)
Dalam dua tahun pertama kehidupan
bayi ini, dia dapat sedikit memahami lingkungannya dengan jalan melihat, meraba
atau memegang, mengecap, mencium dan menggerakan. Dengan kata lain mereka
mengandalkan kemampuan sensorik serta motoriknya. Beberapa kemampuan kognitif
yang penting muncul pada saat ini. Anak tersebut mengetahui bahwa perilaku yang
tertentu menimbulkan akibat tertentu pula bagi dirinya. Misalnya dengan
menendang-nendang dia tahu bahwa selimutnya akan bergeser darinya.
b. Tahap Pra-operasional ( kurang lebih umur dua
tahun hingga tujuh tahun)
Dalam
tahap ini sangat menonjol sekali kecenderungan anak-anak itu untuk selalu
mengandalkan dirinya pada persepsinya mengenai realitas. Dengan adanya
perkembangan bahasa dan ingatan anakpun mampu mengingat banyak hal tentang
lingkungannya. Intelek anak dibatasi oleh egosentrisnya yaitu ia tidak
menyadari orang lain mempunyai pandangan yang berbeda dengannya.
c. Tahap Operasi Konkrit (kurang lebih tujuh sampai
sebelas tahun)
Dalam
tahap ini anak-anak sudah mengembangkan pikiran logis. Dalam upaya mengerti
tentang alam sekelilingnya mereka tidak terlalu menggantungkan diri pada
informasi yang datang dari pancaindra. Anak-anak yang sudah mampu berpikir
secara operasi konkrit sudah menguasai sebuah pelajaran yang penting yaitu
bahwa ciri yang ditangkap oleh pancaindra seperti besar dan bentuk sesuatu,
dapat saja berbeda tanpa harus mempengaruhi misalnya kuantitas. Anak-anak
sering kali dapat mengikuti logika atau penalaran, tetapi jarang mengetahui
bila membuat kesalahan.
d. Tahap Operasi Formal (kurang lebih umur sebelas
tahun sampai limabelas tahun)
Selama
tahap ini anak sudah mampu berpikir abstrak yaitu berpikir mengenai gagasan.
Anak dengan operasi formal ini sudah dapat memikirkan beberapa alternatif
pemecahan masalah. Mereka dapat mengembangkan hukum-hukum yang berlaku umum dan
pertimbangan ilmiah. Pemikirannya tidak jauh karena selalu terikat kepada
hal-hal yang besifat konkrit, mereka dapat membuat hipotesis dan membuat kaidah
mengenai hal-hal yang bersifat abstrak.
e. Jerome Bruner dengan Discovery Learningnya
Yang menjadikan dasar ide J. Bruner
ialah pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan secara
aktif di dalam belajar di kelas. Untuk itu bruner memakai cara dengan apa yang
disebutnya discovery learning, yaitu dimana murid mengorganisasi bahan
pelajaran yang dipelajarai dengan suatu bentuk akhir yang sesuai dengan tingkat
kemajuan anak tersebut. Bruner menyebutkan hendaknya guru harus memberikan
kesempatan kepada muridnya untuk menjadi seorang problem solver, seorang
scientist, historian atau ahli matematika. Biarkan murid kita menemukan arti bagi
diri mereka sendiri dan memungkinkan mereka mempelajari konsep-konsep di dalam
bahasa yang mereka mengerti.
Belajar
seharusnya menjadi kegiatan yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia.
Belajar merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia yang paling penting dalam
upaya mempertahankan hidup dan mengembangkan diri. Dalam dunia pendidikan
belajar merupakan aktivitas pokok dalam penyelenggaraan proses
belajar-mengajar. Melalui belajar seseorang dapat memahami sesuatu konsep yang
baru, dan atau mengalami perubahan tingkah laku, sikap, dan ketrampilan.
Pada dasarnya terdapat dua pendapat
tentang teori belajar yaitu teori belajar aliran behavioristik dan teori
belajar kognitif. Teori belajar behavioristik menekankan pada pengertian
belajar merupakan perubahan tingkah laku, sehingga hasil belajar adalah sesuatu
yang dapat diamati dengan indra manusia langsung tertuangkan dalam tingkah
laku. Seperti yang dikemukakan oleh Ahmadi dan Supriono (1991: 121) bahwa
belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh
suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil
pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”.
Sedangkan teori belajar kognitif
lebih menekankan pada belajar merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal
pikiran manusia. Seperti juga diungkapkan oleh Winkel (1996: 53) bahwa “Belajar
adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi
aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan
pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif
dan berbekas”.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa
pada dasarnya belajar adalah suatu proses usaha yang melibatkan aktivitas
mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari proses interaksi
aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan dalam bentuk
pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, ketrampilan dan nilai sikap yang bersifat
relatif dan berbekas.
D. Hakikat Pembelajaran Menurut
Teori Belajar Konstruktivisme
Dalam
upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996: 20)
mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai
berikut: (1) memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya
dengan bahasa sendiri, (2) memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir
tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif, (3)
memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru, (4) memberi
pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa, (5)
mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan
lingkungan belajar yang kondusif.
Dari
beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu
kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa
dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi
atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain,
siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui
asimilasi dan akomodasi.
E. Teori Belajar
Behaviorisme
Secara pragmatis, teori belajar
dapat dipahami sebagai prinspip umum atau kumpulan prinsip yang saling
berhubungan dan merupakan penjelasan atas sejumlah fakta dan penemuan yang
berkaitan dengan peristiwa belajar.
Dalam arti teori
belajar yang lebih menekankan pada tingkah laku manusia. Memandang individu
sebagai makhluk reaktif yang memberi respon terhadap lingkungan. Pengalaman dan
pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka. Dari hal ini, timbulah konsep
”manusia mesin” (Homo Mechanicus). Ciri dari teori ini adalah
1.
Mementingkan faktor lingkungan
2.
Menekankan pada faktor bagian
3. Menekankan pada tingkah laku yang nampak dengan
mempergunakan metode obyektif.
4.
Bersifat mekanis
5.
Mementingkan masa lalu
6.
Mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil
7.
Mementingkan pembentukan reaksi atau respon
8.
Menekankan pentingnya latihan
9.
Mementingkan mekanisme hasil belajar
10.
Mementingkan peranan kemampuan dan hasil belajar yang
diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan.
Pada teori
belajar ini sering disebut S-R psikologis artinya bahwa tingkah laku manusia
dikendalikan oleh ganjaran atau reward dan penguatan atau reinforcement dari
lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang
erat antara reaksi-reaksi behavioural dengan stimulusnya. Guru yang menganut
pandangan ini berpandapat bahwa tingkahlaku siswa merupakan reaksi terhadap
lingkungan dan tingkahl laku adalah hasil belajar.
Teori belajar behaviorisme adalah sebuah teori
yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku
sebagai hasil dari pengalaman.
F. Hubungan Konstrivisme,
Behaviorisme dan Maturasionisme
Konstruktivisme berbeda dengan
Behavorisme dan Maturasionisme. Bila Behavorisme menekankan keterampilan
sebagai suatu tujuan pengajaran, konstruktivisme lebih menekankan pengembangan
konsep dan pengertian yang mendalam. Bila Maturasionisme lebih menekankan
pengetahuan yang berkembang sesuai dengan langkah-langkah perkembangan
kedewasaan. Dalam pengertian Matursionisme bila seorang mengikuti perkembangan
pengetahuan yang ada, dengan sendirinya ia akan menemukan pengetahuan yang
lengkap. Menurut Kontstrufisme, bila seorang tidak mengkontruktiviskan
pengetahuan secara aktif, meskipun ia berumur tua akan tetap tidak akan berkembang
pengetahuan.
Dalam teori ini kreatifitas dan
keatifan siswa akan mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif
mereka. Mereka akan terbantu menjadi orang yang kritis menganalisis sesuatu hal
karena mereka berfikir dan bukan meniru saja. Kadang-kadang orang menganggap
bahwa kontstruktivisme sama dengan teori pencarin sendiri dalam belajar.
Sebenarnya kalau kita lihat secara teliti , kedua teori ini tidak sama .
dalam banyak hal mereka punya banyak kesamaan , seperti penekanan keaktifan siswa untuk
memenuhi suatu hal. Dapat terjadi bahwa metode pencarian sendiri memang
merupakan metode konstrusktivisme tetapi tidak semua konstruktivis dengan
metode pencarian sendiri . dalam konstrutivisme telebih yang personal sosial ,
justru dkembangkan belajar bersama dalam kelompok. Hal ini tidak ada dalam
metode mencari ssendiri. Bahkan, dalam praktek metode pencarian sendiri tidak
memungkinkan siswa mengkonstruk pengetahuan sendiri, karena lanhkah-langkah
pencarian dan bagaimana pencarian dilaporkan dn dirumuskan sudah dituliskan
sebelumnya.
Teori Belajar Konstruktivisme
“The
Most Important Single Factor Influencing Learning Is What The Learner Alrready
Knows”
Kontruksi berarti bersifat
membangun, dalam konteks filsafat pendidikan. Konstruktivisme adalah suatu
upaya membangun tata susunan hidup yang modern. Dari keterangan tersebut
dapatlah ditarik keesimpulan bahwa teori ini memberikan keaktifan terhadapa
manusia untuk belajar menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan atau teknologi,
dan hal lain yang diperlukan guna mengembangkan dirinya sendiri.
Adapun
tujuan dari teori ini adalah sebagai berikut:
ü Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah
tanggung jawab siswa itu sendiri.
ü Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengajukan
pertanyaan dan mencari sendiri jawabannya.
ü Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman
konsep secara lengkap.
ü Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir
yang mandiri. Lebih menekankan pada proses belajar baggaiman belajar itu.
A.
IMPLIKASI KONSTRUKTIVISME TERHADAP PROSES
BELAJAR
1) Makna Belajar
Menurut kaum konstruktivis, belajar merupakan proses
aktif pelajar mengkonstruksikan arti sebuah teks, dialog, pengalaman fisis, dan
lain-lain. Belajar juga merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan
pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dipunyai
seseorang sehingga pengertiannya dikembangkan. Proses tersebut antara lain bercirikan sebagai berikut:
a.
Belajar
berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa yang mereka
lihat, dengar, rasakan dan alami. Konstruksi arti itu dipengaruhi oleh pengertian
yang telah ia punyai.
b.
Konstruksi
arti adalah proses yang terus menerus. Setiap kali berhadapan dengan fenomena
atau persoalan yang baru, diadakan rekonstruksi, baik secara kuat maupun lemah.
c.
Belajar
bukanlah kegiatan mengumpulan fakta, melainkan lebih suatu pengembangan
pemikiran dengan membuat pengertian yang baru. Belajar bukanlah hasil
perkembangan, melainkan merupakan perkembangan itu sendiri (Fosnot, 1996),
suatu perkembangan yang menuntut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran
seseorang.
d.
Proses
belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang
merangsang pemikiran lebih lanjut situasi ketidakseimbangan (disequilibrium)
adalah situasi yang baik untuk memacu belajar.
e.
Hasil
belajar dipengaruhi oleh pengalaman pelajar dengan dunia fisik dan lingkungan.
f.
Hasil
belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui pelajar
konsep-konsep, tujuan, dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan
yang dipelajari (Paul Suparno 2001:61).
2) Peran Pelajar
Bagi kaum konstrutivisme, belajar
adalah kegiatan yang aktif, dimana pelajar membangun sendiri pengetahuannya.
Pelajar mencari arti sendiri apa yang mereka pelajari. Pelajar sendirilah yang
bertanggungjawab atas hasil belajarnya. Mereka membawa pengertiannya yang lama
dalam situasi belajar yang baru. Mereka sendiri yang membuat penalaran atas apa
yang dipelajarinya dengan cara mencari makna, membandingkannya dengan apa yang
telah ia ketahui serta menyelesaikan ketegangan antara apa yang telah ia
ketahui dengan apa yang ia perlukan dalam pengalaman yang baru (Paul Suparno,
2001:62).
Belajar merupakan proses organik untuk menemukan sesuatu bukan suatu proses mekanik untuk mengumpulkan fakta. Belajar itu suatu perkembangan pemikiran dengan membuat kerangka. Pengertian yang berbeda. Pelajar harus punya pengalaman dengan membuat hipotesis, mengetes hipotesis, memanipulasi objek, memecahkan persoalan, mencari jawaban, menggambarkan, meneliti, berdialog, mengadakan refleksi, mengungkapkan pertanyaan, mengekspresikan gagasan, dan lain-lain untuk membentuk konstruksi yang baru. Pelajar harus membentuk pengetahuan mereka sendiri dan guru membentuk sebagai mediator dalam proses pembentukan itu. Menurut Fosnot (1989) dalam Paul Suparno (2001:62) belajar berarti terjadi melalui refleksi, pemecahan konflik pengertian, dan dalam proses selalu memperbaiki tingkat pemikiran yang tidak lengkap.
Belajar merupakan proses organik untuk menemukan sesuatu bukan suatu proses mekanik untuk mengumpulkan fakta. Belajar itu suatu perkembangan pemikiran dengan membuat kerangka. Pengertian yang berbeda. Pelajar harus punya pengalaman dengan membuat hipotesis, mengetes hipotesis, memanipulasi objek, memecahkan persoalan, mencari jawaban, menggambarkan, meneliti, berdialog, mengadakan refleksi, mengungkapkan pertanyaan, mengekspresikan gagasan, dan lain-lain untuk membentuk konstruksi yang baru. Pelajar harus membentuk pengetahuan mereka sendiri dan guru membentuk sebagai mediator dalam proses pembentukan itu. Menurut Fosnot (1989) dalam Paul Suparno (2001:62) belajar berarti terjadi melalui refleksi, pemecahan konflik pengertian, dan dalam proses selalu memperbaiki tingkat pemikiran yang tidak lengkap.
B.
IMPLIKASI
KONSTRUKTIVISME TERHADAP PROSES MENGAJAR
1) Makna Mengajar
Bagi kaum konstruktivis menurut
Bettencourt (1989) dalam Paul Suparno(2001:65) mengajar bukanlah kegiatan
memindahkan pengetahuan dari guru ke murid, melainkan suatu kegiatan yang
memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti
partisipasi dengan pelajar dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan,
bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi. Jadi mengajar adalah suatu bentuk
belajar sendiri.
2) Fungsi dan Peran Pelajar
Pengajar sebagai mediator dan
fasilitator, menurut prinsip konstruktivis, seorang pengajar atau guru berperan
sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar murid
berjalan dengan baik. Tekanan ada pada siswa yang belajar dan bukan pada
disiplin ataupun guru yang mengajar. Fungsi mediator dan fasilitator dapat
dijabarkan dalam beberapa tugas sebagai berikut:
a.
Menyediakan
pengalaman belajar yang memungkinkan murid bertanggung jawab dalam membuat
rancangan, proses dan penelitian. Oleh karena itu jelas memberi kuliah atau
ceramah bukanlah tugas utama seorang guru.
b.
Menyediakan
atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keigintahuan murid dan
membantu mereka mengekspresikan gagasannya dan mengkomunikasikan ide ilmiah
mereka. Menyediakan sarana yang merangsang siswa berpikir secara produktif.
Menyediakan kesempatan dan pengalaman yang paling mendukung proses belajar
siswa. Guru harus menyemangati siswa. Guru perlu menyediakan pengalaman konflik.
c.
Memonitor,
mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pemikiran murid jalan atau tidak. Guru
menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan murid itu berlaku untuk menghadapi
persoalan baru yang berkaitan. Guru membantu mengevaluasi hipotesis dan
kesimpulan murid (Paul Suparno, 2001:66).
Agar peran dan tugas tersebut berjalan dengan optimal, diperlukan beberapa kegiatan yang dikerjakan dan juga beberapa pemikiran yang perlu disadari oleh pengajar yaitu:
a.
Guru
perlu banyak berinteraksi dengan siswa untuk lebih mengerti apa yang sudah
mereka ketahui dan pikirkan
b.
Tujuan
dan apa yang akan dibuat di kelas sebaiknya dibicarakan bersama sehingga
sungguh terlibat.
c.
Guru
perlu mengerti pengalaman belajar mana yang lebih sesuai dengan kebutuhan
siswa. Ini dapat dilakukan dengan berpartisipasi sebagai pelajar juga di tengah
pelajar.
d.
Diperlukan
keterlibatan dengan siswa yang sedang berjuang dan kepercayaan terhadap siswa
bahwa mereka dapat belajar.
e.
Guru
perlu mempunyai pemikiran yang fleksibel untuk dapat mengerti dan menghargai
pemikiran siswa, karena kadang siswa berpikir bedasarkan pengandaian yang tidak
diterima guru (Paul Suparno, 2001: 66).
C.
HUBUNGAN KONSTRUKTIVISME DENGAN TEORI BELAJAR LAIN
Selama 20 tahun terakhir ini konstruktivisme telah banyak
mempengaruhi pendidikan Sains dan Matematika di banyak negara Amerika, Eropa,
dan Australia. Inti teori ini berkaitan dengan beberapa teori belajar seperti
teori Perubahan Konsep, Teori Belajar Bermakna dan Ausuble, dan Teori Skema.
- Teori Belajar Konsep
Dalam banyak penelitian diungkapkan
bahwa teori petubahan konsep ini dipengaruhi atau didasari oleh filsafat
kostruktivisme. Konstruktivisme yang menekankan bahwa pengetahuan dibentuk oleh
siswa yang sedang belajar, dan teori perubahan konsep yang menjelaskan bahwa
siswa mengalami perubahan konsep terus menerus, sangat berperan dalam
menjelaskan mengapa seorang siswa bisa salah mengerti dalam menangkap suatu
konsep yang ia pelajari. Kostruktivisme membantu untuk mengerti bagaimana siswa
membentuk pengetahuan yang tidak tepat.
Teori perubahan konsep sangat
membantu karena mendorong pendidik agar menciptakan suasana dan keadaan yang
memungkinkan perubahan konsep yang kuat pada murid sehingga pemahaman mereka
lebih sesuai dengan ilmuan.
2.
Teori Bermakna Ausubel
Menurut Ausubel, seseorang belajar
dengan
mengasosiasikan fenomena baru ke dalam skema yang telah ia punya. Dalam proses
itu seseorang dapat memperkembangkan sekema yang ada atau dapat mengubahnya.
Dalam proses belajar ini siswa mengonstruksi apa yang ia pelajari sendiri.
Teori Belajar bermakna Ausuble ini
sangat dekat dengan Konstruktivesme. Keduanya menekankan pentingnya pelajar
mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru kedalam sistem
pengertian yang telah dipunyai. Keduanya menekankan pentingnya asimilasi
pengalaman baru kedalam konsep atau pengertian yang sudah dipunyai siswa.
Keduanya mengandaikan bahwa dalam proses belajar itu siswa aktif.
3.
Teori Skema
Menurut teori ini, pengetahuan
disimpan dalam suatu paket informasi, atau skema yang terdiri dari konstruksi
mental gagasan kita. Teori ini lebih menunjukkan bahwa pengetahuan kita itu
tersusun dalam suatu skema yang terletak dalam ingatan kita. Dalam belajar,
kita dapat menambah skema yang ada sehingga dapat menjadi lebih luas dan berkembang.
4.
Konstrtivisme,
Behaviorisme, dan Maturasionisme
Bila Behaviorisme menekankan
keterampilan sebagai suatu tujuan pengajaran, konstruktivime lebih menekankan
pengembangan konsep dan pengertian yang mendalam.
Bila Maturasionisme lebih menekankan
pengetahuan yang berkembang sesuai dengan langkah–langkah perkembangan
kedewasaan. Konstruktivisme lebih menekankan pengetahuan sebagai konstruksi
aktif sibelajar. Dalam pengertian Maturasionisme, bila seseorang mengikuti
perkembangan pengetahuan yang ada, dengan sendirinya ia akan menemukan
pengetahuan yang lengkap. Menurut Konstruktivisme, bila seseorang tidak
mengkonstruktiviskan pengetahuan secara aktif, meskipun ia berumur tua akan
tetap tidak akan berkembang pengetahuannya. Dalam teori ini kreatifitas dan
keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan
kognitif mereka.
A.
CIRI-CIRI PEMBELAJARAN SECARA
KONSTUKTIVISME
Adapun
ciri – ciri pembelajaran secara kontruktivisme adalah
1. Memberi peluang kepada murid membina
pengetahuan baru melalui penglibatan dalam dunia sebenar
2. Menggalakkan soalan/idea yang dimul
akan oleh murid dan menggunakannya sebagai panduan merancang pengajaran.
3. Menyokong pembelajaran secara
koperatif Mengambilkira sikap dan pembawaan murid
4. Mengambilkira dapatan kajian
bagaimana murid belajar sesuatu ide
5. Menggalakkan & menerima daya
usaha & autonomi murid
6. Menggalakkan murid bertanya dan
berdialog dengan murid & guru
7. Menganggap pembelajaran sebagai
suatu proses yang sama penting dengan hasil pembelajaran.
8. Menggalakkan proses inkuiri murid
mel alui kajian dan eksperimen.
B.
PRINSIP-PRINSIP KONSTRUKTIVISME
Secara garis besar, prinsip-prinsip
Konstruktivisme yang diterapkan dalam belajar mengajar adalah:
- Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri
- Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru kemurid, kecuali hanya dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar
- Murid aktif megkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah
- Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi berjalan lancar.
- Menghadapi masalah yang relevan dengan siswa
- Struktur pembalajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan
- Mmencari dan menilai pendapat siswa
- Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan siswa.
Dari semua itu hanya ada satu
prinsip yang paling penting adalah guru tidak boleh hanya semata-mata
memberikan pengetahuan kepada siswa . siswa harus membangun pengetahuan didalam
benaknya sendiri. Seorang guru dapat membantu proses ini dengan cara-cara
mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi
siswa, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau
menerapkan sendiri ide-ide dan dengan mengajak siswa agar menyadari dan
menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat
memberikan tangga kepada siswa yang mana tangga itu nantinya dimaksudkan dapat
membantu mereka mencapai tingkat penemuan.
C.
HAKIKAT
PEMBELAJARAN MATEMATIKA MENURUT TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISME
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa
menurut teori belajar konstruktivisme, pengertahuan tidak dapat dipindahkan
begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus
aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan
kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai
botol-botol kcil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan
kehendak guru.
Sehubungan dengan hal di atas,
Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme
sebagai berikut:
a. peran aktif siswa dalam
mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna.
b. membuat kaitan antara gagasan dalam
pengkonstruksian secara bermakna.
c. mengaitkan antara gagasan dengan
informasi baru yang diterima.
Wheatley (1991: 12) mendukung
pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan
teori belajar konstrukltivisme. Pertama,
pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh
struktur kognitif siswa. Kedua,
fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui
pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Teori belajar
konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan
pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah
diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan
untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan
akomodasi.
G. KELEBIHAN DAN KELEMAHAN TEORI KONSTRUTIVISME
1)
Kelebihan
a.
Berfikir
Alam proses membina pengetahuan baru, murid berfikir untuk
menyelesaikan masalah, menjana idea dan membuat keputusan.
b.
Faham
Oleh kerana murid terlibat secara
langsung dalam mebina pengetahuan baru, mereka akan lebih faham dan boleh
mengapliksikannya dalam semua situasi.
c.
Ingat
Oleh kerana murid terlibat secara langsung
dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep. Yakin Murid melalui
pendekatan ini membina sendiri kefahaman mereka. Justeru mereka lebih yakin
menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam situasi baru.
d.
Kemahiran
sosial
Kemahiran sosial diperolehi apabila
berinteraksi dengan rakan dan guru dalam membina pengetahuan baru.
e.
Seronok
Oleh kerana mereka terlibat secara
terus, mereka faham, ingat, yakin dan berinteraksi dengan sihat, maka mereka
akan berasa seronok belajar dalam membina pengetahuan baru.
2)
Kelemahan
Dalam bahasan kekurangan atau
kelemahan ini mungkin bisa kita lihat dalam proses belajarnya dimana peran guru
sebagai pendidik itu sepertinya kurang begitu mendukung.
H.
PROSES BELAJAR MENURUT
KONSTRUKVISTIK
Pada bagian ini akan dibahas proses
belajar dari pandangan kontruktifistik dan dari aspek-aspek si pelajar, peranan guru, sarana
belajar, dan evaluasi belajar.
1.
Proses
belajar kontruktivistik secara konseptual proses belajar jika dipandang dari
pendekatan kognitif, bukan sebagai perolehan informasi yang berlangsung satu
arah dari luar kedalam diri siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi
dan akomodasi yang bermuara pada pemuktahiran struktur kognitifnya. Kegiatan
belajar lebih dipandang dari segi rosesnya dari pada segi perolehan pengetahuan
dari pada fakta-fakta yang terlepas-lepas.
2.
Peranan
siswa. Menurut pandangan ini belajar merupakan suatu proses pembentukan
pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh si pelajar. Ia harus aktif melakukan
kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep, dan memberi makna tentang hal-hal
yang sedang dipelajari. Guru memang dapat dan harus mengambil prakarsa untuk
menata lingkungan yang memberi peluang optimal bagi terjadinya belajar. Namun
yang akhirnya paling menentukan adalah terwujudnya gejala belajar adalah niat
belajar siswa itu sendiri.
3.
Peranan
guru. Dalam pendekatan ini guru atau pendidik berperan membantu agar proses
pengkontruksian pengetahuan oleh siswa berjalan lancar. Guru tidak
mentransferkan pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu siswa untuk
membentuk pengetahuannya sendiri.
4.
Sarana
belajar. Pendekatan ini menekankan bahwa peranan utama dalam kegiatan belajar
adalah aktifitas siswa dalam mengkontruksi pengetahuannya sendiri. Segala
sesuatu seperti bahan, media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas lainnya
disediakan untuk membantu pembentukan tersebut.
5.
Evaluasi.
Pandangan ini mengemukakan bahwa lingkungan belajar sangat mendukung munculnya
berbagai pandangan dan interpretasi terhadap realitas, kontruksi pengetahuan,
serta aktifitas-aktifitas lain yang didasarkan pada pengalaman.
TEORI
BELAJAR KOGNITIF
Pada dasarnya terdapat dua pendapat
tentang teori belajar yaitu teori belajar aliran behavioristik dan teori
belajar kognitif. Teori belajar
behavioristik menekankan pada pengertian belajar merupakan perubahan
tingkah laku, sehingga hasil belajar adalah sesuatu yang dapat diamati dengan
indra manusia langsung tertuangkan dalam tingkah laku. Sedangkan teori belajar kognitif lebih menekankan pada belajar
merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal pikiran manusia. Seperti juga
diungkapkan oleh Winkel (1996: 53)
bahwa “Belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam
interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam
pengetahuan pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat
secara relatif dan berbekas”. Teori
belajar kognitif memandang belajar sebagai proses pemfungsian
unsur-unsur kognisi, terutama unsur pikiran, untuk dapat mengenal dan memahami
stimulus yang datang dari luar. Aktivitas belajar pada diri manusia ditekankan
pada proses internal berfikir, yakni proses pengolahan informasi. Teori belajar kognitif berpendapat bahwa
tingkah laku seseorang tidak hanya dikontrol oleh “reward” dan “reinforcement”.
Mereka adalah para ahli jiwa aliran kognitifis.Menurut mereka, tingkah laku
seseorang senantiasa didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau
memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi.Dalam situasi belajar,
seseorang terlibat langsung dalam situasi itu dan memperoleh “insight” untuk
pemecahan masalah.Jadi tingkah laku seseorang lebih bergantung kepada insight
terhadap hubungan-hubungan yang ada di dalam suatu situasi.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa
pada dasarnya belajar adalah suatu proses usaha yang melibatkan aktivitas
mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari proses interaksi
aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan dalam bentuk
pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, ketrampilan dan nilai sikap yang bersifat
relatif dan berbekas.
Sesuai dengan karakteristik matematika maka belajar matematika lebih
cenderung termasuk ke dalam aliran belajar kognitif yang proses dan hasilnya
tidak dapat dilihat langsung dalam konteks perubahan tingkah laku. Berikut
adalah beberapa teori belajar kognitif menurut beberapa pakar teori belajar
kognitif:
1.
Teori Belajar Piaget
Jean Piaget adalah seorang Menurut Piaget setiap anak mengembangkan
kemampuan berpikirnya menurut tahap yang teratur. Pada satu tahap perkembangan
tertentu akan muncul skema atau struktur tertentu yang keberhasilannya pada
setiap tahap amat bergantung pada tahap sebelumnya. Adapun tahapan-tahapan
tersebut adalah:
a.
Tahap Sensori Motor(dari lahir sampai kurang lebih umur 2 tahun)
Dalam dua tahun pertama kehidupan
bayi ini, dia dapat sedikit memahami lingkungannya dengan jalan melihat, meraba
atau memegang, mengecap, mencium dan menggerakan. Dengan kata lain mereka
mengandalkan kemampuan sensorik serta motoriknya. Beberapa kemampuan kognitif
yang penting muncul pada saat ini. Anak tersebut mengetahui bahwa perilaku yang
tertentu menimbulkan akibat tertentu pula bagi dirinya. Misalnya dengan
menendang-nendang dia tahu bahwa selimutnya akan bergeser darinya.
b.
Tahap Pra-operasional ( kurang lebih umur 2 tahun hingga 7 tahun)
Ciri pokok perkembangan pada tahap
ini adalah pada penggunaan simbol atau bahasa tanda, dan mulai berkembangnya
konsep-konsep intuitif. Tahap ini di bagi menjadi dua yaitu praoperasional dan
intuitif.
Karakteristik tahap praoperasional
(2 – 7 tahun) yaitu:
1.
Self
countemnya sangat menonjol
2.
Dapat
mengklasifikasikan objek pada tingkat dasar secara tunggal dan mencolok
3.
Tidak
mampu memusatkan perhatian pada objek-objek yang berbeda
4.
Mampu
mengumpulkan barang-barang menurut kriteria
5.
Dapat
menyusun benda-benda secara berderet, tetapi tidak dapat menjelaskan perbedaan
antara deretan
Karakteristik tahap intuitif (4 -7
tahun) yaitu:
1. Anak dapat meembentuk kelas-kelas
suatu objek, tetapi kurang disadarinya
2. Anak mulai mengetahui hubungan
secara logis terhadap hal-hal yang lebih kompleks
3. Anak dapat melakukan sesuatu
terhadap sejumlah ide
4. Anak mampu memperoleh
prinsip-prinsip secara benar
c.
Tahap Operasi Konkrit (kurang lebih 7 sampai 11 tahun)
Dalam tahap ini anak-anak sudah
mengembangkan pikiran logis. Dalam upaya mengerti tentang alam sekelilingnya
mereka tidak terlalu menggantungkan diri pada informasi yang datang dari
pancaindra. Anak-anak yang sudah mampu berpikir secara operasi konkrit sudah
menguasai sebuah pelajaran yang penting yaitu bahwa ciri yang ditangkap oleh
pancaindra seperti besar dan bentuk sesuatu, dapat saja berbeda tanpa harus
mempengaruhi misalnya kuantitas. Anak-anak sering kali dapat mengikuti logika
atau penalaran, tetapi jarang mengetahui bila membuat kesalahan.
d.
Tahap Operasi Formal (kurang lebih umur 11 tahun sampai 15 tahun)
Selama tahap ini anak sudah mampu
berpikir abstrak yaitu berpikir mengenai gagasan. Anak dengan operasi formal
ini sudah dapat memikirkan beberapa alternatif pemecahan masalah. Mereka dapat
mengembangkan hukum-hukum yang berlaku umum dan pertimbangan ilmiah.
Pemikirannya tidak jauh karena selalu terikat kepada hal-hal yang besifat
konkrit, mereka dapat membuat hipotesis dan membuat kaidah mengenai hal-hal
yang bersifat abstrak.
Dikemukakannya pula, bahwa belajar akan lebih berhasil
apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta
didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek
fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh
pertanyaan tilikan dari guru.Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada
peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan
menemukan berbagai hal dari lingkungan.
Secara umum pendapat Pieget mengenai perkembangan proses
belajar pada anak-anak adalah sebagai berikut :
1. Anak mempunyai struktur mental yang
berbeda dengan orang dewasa. Mereka bukan merupakan orang dewasa dalam bentuk
kecil, mereka mapunyai cara yang khas untuk menyatakan kenyataan dan untuk
menghayati dunia sekitarnya. Maka memerlukan pelayanan tersendiri dalam
belajar.
2. Peerkembangan mental pada anak
melalui tahap-tahap tertentu, menurut suatu urutan yang sama bagi semua anak
3. Walaupun berlansungnya tahap-tahap
peerkembangan itu melalui suatu urutan tertentu, tetapi jangka waktu untuk
berlatih dari satu tahap ke tahap yang lain tidaklah selalu sama pada setiap
anak.
4. Perkembangan mental anak dipengaruhi
oleh 4 faktor : kematangan,
pengalaman, interaksi sosial, dan
equilibration.
Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam
pembelajaran adalah :
- Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
- Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
- Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
- Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
- Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya
Teori belajar Piaget memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap
perkembangan teori pembelajaran kognitif. Hal ini terbukti dengan banyaknya
peneliti yang tertarik melakukan analisis serta memperluas teori tersebut.
salah satu kritik yang cukup tajam terhadap teori Piaget adalah berkenaan
dengan asumsi bahwa pengertian akan suatu struktur yang sama akan diperoleh
pada usia yang sama dalam berbagai domain intelektual. Implikasi dari hal ini
adalah ketika seorang anak sudah dapat mengawetkan besaran suatu unsur dengan
mengenali bahwa besaran dari benda tersebut sama terlepas dari bentuknya anak
secara rasional dapat diduga akan mengawetkan konsep berat, karena struktur
antara konsep besaran dan berat sama. Ternyata bersadar pada studi
eksperimental yang dilakukan oleh para peneliti hal ini tidak sepenuhnya benar.
Hal ini dianggap sebagai sebuah penyimpangan. Penyimpangan yang dimaksud adalah
terjadinya perbedaan cara dalam memperoleh sebuah struktur yang sama oleh
seorang individu. Dari beberapa hasil pengembangan penelitian dalam teori ini
ternyata penyimpangan ini lazim terjadi sebagaimana diungkapkan oleh Biggs dan
Collis (1982). Fakta ini memicu sebuah pengembangan teori dari teori Piaget
yang dikenal dengan neo-Piagetian theories.
2.
Teori Belajar Kognitif - Field dari Lewin
Kurt Lewin (1892-1947) mengembangkan suatu teori belajar
kognitif-field dengan menaruh perhatian kepada kepribadian dan psikologi
social. Lewin memandang masing-masing individu berada di dalam suatu medan
kekuatan yang bersifat psikologis. Medan dimana individu bereaksi disebut life
space. Life space mencankup perwujudan lingkungan di mana individu bereaksi,
misalnya ; orang – orang yang dijumpainya, objek material yang ia hadapi serta
fungsi kejiwaan yang ia miliki. Jadi menurut Lewin, belajar berlangsung sebagai
akibat dari perubahan dalam struktur kognitif. Perubahan sruktur kognitif itu
adalah hasil dari dua macam kekuatan, satu dari stuktur medan kognisi itu
sendiri, yang lainya dari kebutuhan motivasi internal individu. Lewin
memberikan peranan lebih penting pada motivasi dari reward.
Bertolak pada teori Gestalt, Lewin mengembangkan teori
belajar berdasarkan Life Space (dunia psikologis dari kehidupan individu).
Masing – masing individu berada di dalam medan kekuatan psikologis, medan itu
dinamakan Life Space yang terdiri
dari dua unsure yaitu kepribadian dan psikologi social. Ia menyatakan bahwa
tingkah laku belajar merupakan usaha untuk mengadakan reorganisasi/ restruktur
(dari isi jiwa). Tingkah laku merupakan hasil dari interaksi antar kekuatan
baik dari dalam (tujuan, kebutuhan, tekanan batin, dan sebagainya) maupun dari
luar (tantangan, permasalahan).
TEORI BELAJAR KOGNITIF
Istilah “Cognitive” berasal dari kata cognition artinya adalah
pengertian, mengerti. Pengertian yang luasnya cognition (kognisi) adalah
perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan ( Neisser, 1976). Dalam
pekembangan selanjutnya, kemudian istilah kognitif ini menjadi populer sebagai
salah satu wilayah psikologi manusia / satu konsep umum yang mencakup semua
bentuk pengenalan yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan
masalah pemahaman, memperhatikan, memberikan, menyangka, pertimbangan,
pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesengajaan, pertimbangan,
membayangkan, memperkirakan, berpikir dan keyakinan.
Termasuk kejiwaan yang berpusat di otak ini juga berhubungan dengan konasi
(kehendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan rasa.
Menurut para ahli jiwa aliran kognitifis, tingkah laku seseorang itu
senantiasa didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan
situasi dimana tingkah laku itu terjadi.
Teori belajar kognitif lebih menekankan pada belajar merupakan suatu proses
yang terjadi dalam akal pikiran manusia. Seperti juga diungkapkan oleh Winkel
(1996: 53) bahwa “Belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang
berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan
perubahan-perubahan dalam pengetahuan pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap.
Perubahan itu bersifat secara relatif dan berbekas”.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya belajar adalah suatu proses
usaha yang melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai
akibat dari proses interaksi aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu
perubahan dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, ketrampilan dan
nilai sikap yang bersifat relatif dan berbekas.
Sesuai dengan karakteristik matematika maka belajar matematika lebih
cenderung termasuk ke dalam aliran belajar kognitif yang proses dan hasilnya
tidak dapat dilihat langsung dalam konteks perubahan tingkah laku.
Teori Perkembangan Kognitif, dikembangkan oleh Jean Piaget, seorang psikolog Swiss yang hidup tahun 1896-1980. Teorinya memberikan banyak konsep utama dalam lapangan psikologi perkembangan dan berpengaruh terhadap
perkembangan konsep kecerdasan, yang bagi Piaget,
berarti kemampuan untuk secara lebih tepat merepresentasikan dunia dan
melakukan operasi logis dalam representasi konsep yang berdasar pada kenyataan.
Teori ini membahas munculnya dan diperolehnya schemata—skema tentang
bagaimana seseorang mempersepsi lingkungannya— dalam tahapan-tahapan
perkembangan, saat seseorang memperoleh cara baru dalam merepresentasikan informasi secara mental. Teori ini
digolongkan ke dalam konstruktivisme, yang berarti, tidak
seperti teori nativisme (yang menggambarkan
perkembangan kognitif sebagai pemunculan pengetahuan dan kemampuan bawaan),
teori ini berpendapat bahwa kita membangun kemampuan kognitif kita melalui
tindakan yang termotivasi dengan sendirinya
terhadap lingkungan. Untuk pengembangan teori ini, Piaget memperoleh Erasmus
Prize.
2.2.
TEORI BELAJAR KOGNITIF
MENURUT PIAGET
Jean Piaget meneliti dan menulis subjek perkembangan kognitif ini dari
tahun 1927 sampai 1980. Berbeda dengan para ahli-ahli psikologi sebelumnya,
Piaget menyatakan bahwa cara berpikir anak bukan hanya kurang matang
dibandingkan dengan orang dewasa karena kalah pengetahuan , tetapi juga berbeda
secara kualitatif. Menurut penelitiannya juga bahwa tahap-tahap
perkembangan individu /pribadi serta perubahan umur sangat mempengaruhi
kemampuan belajar individu.
Jean Piaget menyebut bahwa struktur kognitif ini sebagai skemata (Schemas),
yaitu kumpulan dari skema-skema. Seseorang individu dapat mengikat, memahami,
dan memberikan respons terhadap stimulus disebabkan karena bekerjanya skemata
ini. Skemata ini berkembang secara kronologis, sebagai hasil interaksi antara
individu dengan lingkungannya. Dengan demikian seorang individu yang lebih
dewasa memiliki struktur kognitif yang lebih lengkap dibandingkan ketika ia
masih kecil.
Piaget memakai istilah scheme secara interchangeably dengan istilah
struktur. Scheme adalah pola tingkah laku yang dapat diulang . Scheme
berhubungan dengan :
- Refleks-refleks pembawaan
; misalnya bernapas, makan, minum.
- Scheme mental ; misalnya
scheme of classification, scheme of operation. ( pola tingkah laku yang masih
sukar diamati seperti sikap, pola tingkah laku yang dapat diamati
Jika schemas / skema / pola yang sudah dimiliki anak mampu menjelaskan
hal-hal yang dirasakan anak dari lingkungannya, kondisi ini dinamakan keadaan
ekuilibrium (equilibrium), namu ketika anak menghadapi situasi baru yang
tidak bisa dijelaskan dengan pola-pola yang ada, anak mengalami sensasi
disekuilibrium (disequilibrium) yaitu kondisi yang tidak menyenangkan.
Sebagai contoh karena masih terbatasnya skema pada anak-anak : seorang anak
yang baru pertama kali melihat buaya ia menyebutnya sebagai cecak besar, karena
ia baru memiliki konsep cecak yang sering dilihat dirumahnya. Ia memiliki
konsep cecak dalam skemanya dan ketika ia melihat buaya untuk pertama kalinya,
konsep cecaklah yang paling dekat dengan stimulus. Peristiwa ini pun bisa
terjadi pada orang dewasa. Hal ini terjadi karena kurangnya perbendaharaan kata
atau dalam kehidupan sehari-harinya konsep tersebut jarang ditemui. Misalnya :
seringkali orang menyebut kuda laut itu sebagai singa laut, padahal kedua
binatang itu jauh berbeda cara hidupnya, lingkungan kehidupan, maupun bentuk
tubuhnya dengan kuda ataupun singa. Asosiasi tersebut hanya berdasarkan
sebagian bentuk tubuhnya yang hampir sama.
Piaget mengembangkan teori perkembangan kognitif yang cukup dominan selama
beberapa dekade. Dalam teorinya Piaget membahas pandangannya tentang bagaimana
anak belajar. Menurut Jean Piaget, dasar dari belajar adalah aktivitas anak
bila ia berinteraksi dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisiknya.
Pertumbuhan anak merupakan suatu proses sosial. Anak tidak berinteraksi dengan
lingkungan fisiknya sebagai suatu individu terikat, tetapi sebagai bagian dari
kelompok sosial. Akibatnya lingkungan sosialnya berada diantara anak dengan
lingkungan fisiknya. Interaksi anak dengan orang lain memainkan peranan penting
dalam mengembangkan pandangannya terhadap alam. Melalui pertukaran ide-ide
dengan orang lain, seorang anak yang tadinya memiliki pandangan subyektif
terhadap sesuatu yang diamatinya akan berubah pandangannya menjadi obyektif.
Dalam perkembangan intelektual ada tiga hal penting yang menjadi perhatian
Piaget yaitu struktur, isi dan fungsi (Piaget , 1988: 61 ; Turner, 1984: 8):
Struktur, Piaget
memandang ada hubungan fungsional antara tindakan fisik, tindakan mental dan
perkembangan logis anak-anak. Tindakan (action) menuju pada operasi-operasi dan
operasi-operasi menuju pada perkembangan struktur-struktur.
Isi, merupakan pola
perilaku anak yang khas yang tercermin pada respon yang diberikannya terhadap
berbagai masalah atau situasi yang dihadapinya.
Fungsi, adalah cara yang
digunakan organisme untuk membuat kemajuan intelektual.
Menurut
Piaget perkembangan intelektual didasarkan pada dua fungsi yaitu organisasi dan
adaptasi. Organisasi memberikan pada organisme kemampuan untuk mengestimasikan
atau mengorganisasi proses-proses fisik atau psikologis menjadi sistem-sistem
yang teratur dan berhubungan. Adaptasi, terhadap lingkungan dilakukan melalui
dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi.
2.2.1. Tahap Teori Piaget
Menurut Piaget setiap anak mengembangkan kemampuan berpikirnya menurut
tahap yang teratur. Pada satu tahap perkembangan tertentu akan muncul skema
atau struktur tertentu yang keberhasilannya pada setiap tahap amat bergantung
pada tahap sebelumnya. Adapun tahapan-tahapan tersebut adalah:
a.Tahap Sensorik Motor (dari lahir sampai kurang lebih umur 2 tahun)
Dalam dua tahun pertama kehidupan bayi ini, dia dapat sedikit memahami
lingkungannya dengan jalan melihat, meraba atau memegang, mengecap, mencium dan
menggerakan. Dengan kata lain mereka mengandalkan kemampuan sensorik serta
motoriknya. Beberapa kemampuan kognitif yang penting muncul pada saat ini. Anak
tersebut mengetahui bahwa perilaku yang tertentu menimbulkan akibat tertentu
pula bagi dirinya. Misalnya dengan menendang-nendang dia tahu bahwa selimutnya
akan bergeser darinya.
b.Tahap Pra-operasional
( kurang lebih umur 2 tahun hingga 7 tahun)
Dalam tahap ini sangat menonjol sekali kecenderungan anak-anak itu untuk
selalu mengandalkan dirinya pada persepsinya mengenai realitas. Dengan adanya
perkembangan bahasa dan ingatan anakpun mampu mengingat banyak hal tentang
lingkungannya. Intelek anak dibatasi oleh egosentrisnya yaitu ia tidak
menyadari orang lain mempunyai pandangan yang berbeda dengannya.
c.Tahap Operasi Konkrit
(kurang lebih 7 sampai 11 tahun)
Dalam tahap ini anak-anak sudah mengembangkan pikiran logis. Dalam upaya
mengerti tentang alam sekelilingnya mereka tidak terlalu menggantungkan diri pada
informasi yang datang dari pancaindra. Anak-anak yang sudah mampu berpikir
secara operasi konkrit sudah menguasai sebuah pelajaran yang penting yaitu
bahwa ciri yang ditangkap oleh pancaindra seperti besar dan bentuk sesuatu,
dapat saja berbeda tanpa harus mempengaruhi misalnya kuantitas. Anak-anak
sering kali dapat mengikuti logika atau penalaran, tetapi jarang mengetahui
bila membuat kesalahan.
d.Tahap Operasi Formal
(kurang lebih umur 11 tahun sampai 15 tahun)
Selama tahap ini anak sudah mampu berpikir abstrak yaitu berpikir mengenai
gagasan. Anak dengan operasi formal ini sudah dapat memikirkan beberapa
alternatif pemecahan masalah. Mereka dapat mengembangkan hukum-hukum yang
berlaku umum dan pertimbangan ilmiah. Pemikirannya tidak jauh karena selalu
terikat kepada hal-hal yang besifat konkrit, mereka dapat membuat hipotesis dan
membuat kaidah mengenai hal-hal yang bersifat abstrak.
Keempat tahapan ini
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Walau tahapan-tahapan itu bisa dicapai dalam usia bervariasi tetapi
urutannya selalu sama. Tidak ada ada tahapan yang diloncati dan tidak ada
urutan yang mundur.
·
Universal (tidak terkait budaya)
·
Bisa digeneralisasi: representasi dan logika dari operasi yang ada dalam
diri seseorang berlaku juga pada semua konsep dan isi pengetahuan
·
Tahapan-tahapan tersebut berupa keseluruhan yang terorganisasi secara logis
·
Urutan tahapan bersifat
hirarkis (setiap tahapan mencakup elemen-elemen dari tahapan sebelumnya, tapi
lebih terdiferensiasi dan terintegrasi)
·
Tahapan merepresentasikan perbedaan secara kualitatif dalam model berpikir,
bukan hanya perbedaan kuantitatif
2.2.2.Implikasi Teori
Piaget
Piaget merupakan salah satu pioner konstruktivis, ia berpendapat bahwa anak
membangun sendiri pengetahuannya dari pengalamannya sendiri dengan lingkungan.
Dalam pandangan Piaget, pengetahuan datang dari tindakan, perkembangan kognitif
sebagian besar bergantung kepada seberapa jauh anak aktif memanipulasi dan
aktif berinteraksi dengan lingkungannya.
Dalam hal ini peran guru adalah sebagai fasilitator dan buku sebagai
pemberi informasi. Piaget menjabarkan implikasi teori kognitif pada pendidikan
yaitu :
a.Memusatkan perhatian
kepada cara berpikir atau proses mental anak, tidak sekedar kepada hasilnya.
Guru harus memahami proses yang digunakan anak sehingga sampai pada hasil
tersebut. Pengalaman - pengalaman belajar yang sesuai dikembangkan dengan
memperhatikan tahap fungsi kognitif dan jika guru penuh perhatian terhadap
Pendekatan yang digunakan siswa untuk sampai pada kesimpulan tertentu, barulah
dapat dikatakan guru berada dalam posisi memberikan pengalaman yang dimaksud,
b.Mengutamakan peran
siswa dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif dalam kegiatan belajar.
Dalam kelas, Piaget menekankan bahwa pengajaran pengetahuan jadi (ready
made knowledge) anak didorong menentukan sendiri pengetahuan itu melalui
interaksi spontan dengan lingkungan,
c.Memaklumi akan
adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan.
Teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh siswa tumbuh dan melewati urutan
perkembangan yang sama, namun pertumbungan itu berlangsung pada kecepatan
berbeda. Oleh karena itu guru harus melakukan upaya untuk mengatur aktivitas di
dalam kelas yang terdiri dari individu - individu ke dalam bentuk kelompok -
kelompok kecil siswa daripada aktivitas dalam bentuk klasikal,
d.Mengutamakan peran
siswa untuk saling berinteraksi.
Menurut Piaget, pertukaran gagasan - gagasan tidak dapat dihindari untuk
perkembangan penalaran. Walaupun penalaran tidak dapat diajarkan secara
langsung, perkembangannya dapat disimulasi.
2.2.3.
Konsep Teori Piaget
Ada beberapa konsep yang perlu dimengerti agar lebih mudah memahami teori
perkembangan kognitif atau teori perkembangan Piaget, yaitu;
a.Intelegensi
Piaget mengartikan intelegensi secara lebih luas, juga tidak mendefinisikan
secara ketat. Ia memberikan definisi umum yang lebih mengungkap orientasi
biologis. Menurutnya, intelegensi adalah suatu bentuk ekuilibrium kearah mana
semua struktur yang menghasilkan persepsi, kebiasaan, dan mekanisme sensiomotor
diarahkan. (Piaget dalam DR. P. Suparno,2001:19).
b.Organisasi
Organisasi adalah suatu tendensi yang umum untuk semua bentuk kehidupan
guna mengintegrasikan struktur, baik yang psikis ataupun fisiologis dalam suatu
sistem yang lebih tinggi.
c.Skema
Skema adalah suatu struktur mental seseorang dimana ia secara intelektual
beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Skema akan beradaptasi dan berubah
selama perkembangan kognitif seseorang.
d.Asimilasi
Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan
persepsi, konsep atau pengalaman baru kedalam skema atau pola yang sudah ada
dalam pikirannya.
e.Akomodasi
Akomodasi adalah pembentukan skema baru atau mengubah skema lama sehingga
cocok dengan rangsangan yang baru, atau memodifikasi skema yang ada sehingga
cocok dengan rangsangan yang ada.
f.Ekuilibrasi
Ekuilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sedangkan
diskuilibrasi adalah keadaan dimana tidak seimbangnya antara proses asimilasi
dan akomodasi, ekuilibrasi dapat membuat seseorang menyatukan pengalaman luar
dengan struktur dalamnya.
2.2.4.
Contoh Implikasi Teori
Piaget dalam Dunia Pendidikan
Pengaplikasiannya di dalam belajar : perkembangan kognitif bergantung pada akomodasi. Kepada individu
diberikan suatu area yang belum diketahui agar ia dapat belajar, karena ia tak
dapat belajar dari apa yang telah diketahuinya saja. Ia tak dapat
menggantungkan diri pada asimilasi. Dengan adanya area baru ini individu akan
mengadakan usaha untuk dapat mengakomodasi. Situasi atau area itulah yang akan
mempermudah pertumbuhan kognitif.
Secara terinci dibawah ini adalah penerapan teori Piaget terhadap
pendidikan di kelas :
1.Karena cara berpikir
anak itu berbeda-beda dan kurang logis di banding dengan orang dewasa, maka
guru harus dapat mengerti cara berpikir anak, bukan sebaliknya anak yang
beradaptasi dengan guru.
2.Anak belajar paling
baik dengan menemukan (discovery). Arrtinya disini adalah agar pembelajaran
yang berpusat pada anak berlangsung efektif, guru tidak meninggalkan anak-anak
belajar sendiri, tetapi mereka memberi tugas khusus yang dirancang untuk
membimbing para siswa menemukan dan menyelesaikan masalah sendiri.
3.Pendidikan disini
bertujuan untuk mengembangkan pemikiran anak, artinya ketika anak-anak
mencoba memecahkan masalah, penalaran merekalah yang lebih penting
daripada jawabannya. Oleh sebab itu guru penting sekali agar tidak menghukum anak-anak
untuk jawaban yang salah, tetapi sebaliknya menanyakan bagaimana anak itu
memberi jawaban yang salah, dan diberi pengertian tentang kebenarannya atau
mengambil langkah-langkah yang tepat untuk untuk menanggulanginya.
4.Guru dapat
menemukan menemukan dan menetapkan tujun pembelajaran materi pelajaran atau
pokok bahasan pengajaran tertentu.
Jadi, secara singkat dapat dikatakan bahwa pertumbuhan intelektual anak
mengandung tiga aspek, yaitu structure, content dan function. Anak yang sedang
mengalami perkembangan, struktur dan konten intelektualnya berubah /
berkembang. Fungsi dan adaptasi akan tersusun sehingga melahirkan suatu
rangkaian perkembangan ; masing-masing . mempunyai struktur psikologi khusus
yang menentukan kecakapan pikir anak. Maka Piaget mengartikan intelegensi
adalah sejumlah struktur psikologis yang ada pada tingkat perkembangan khusus.
2.3 TEORI BELAJAR KOGNITIF MENURUT
JEROME BRUNER
Jerome
Bruner (1915), seorang ahli psikologi perkembangan dan ahli psikologi belajar
kognitif, yang menjabat sebagai direktur pusat untuk studi kognitif di Harvard
University. Teori Bruner tidak mengembangkan suatu teori bulat tentang belajar
sebagaimana yang dilakukan oleh Robert M. Gagne. Refleksinya berkisar pada
manusia pengolah aktif terhadap informasi yang diterimanya untuk memperoleh
Pemahaman.
Yang menjadi ide dasar Bruner ialah pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan secara aktif dalam belajar di kelas, untuk itu menurut Bruner, murid mengorganisir bahan yang dipelajari dalam suatu bentuk akhir. Teori ini disebutnya dengan discovery learning, atau dengan kata lain bagaimana cara orang memilih mempertahankan dan mentransformasikan informasi secara aktif, dan inilah menurut Bruner inti dari berajar.
Yang menjadi ide dasar Bruner ialah pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan secara aktif dalam belajar di kelas, untuk itu menurut Bruner, murid mengorganisir bahan yang dipelajari dalam suatu bentuk akhir. Teori ini disebutnya dengan discovery learning, atau dengan kata lain bagaimana cara orang memilih mempertahankan dan mentransformasikan informasi secara aktif, dan inilah menurut Bruner inti dari berajar.
Menurut Bruner
dalam proses belajar ada tiga tahap, yaitu:
1. Tahap informasi, yaitu tahap awal untuk memperoleh pengetahuan atau pengalaman baru dimana dalam setiap pelajaran diperoleh sejumlah informasi yang berfungsi sebagai penambahan pengetahuan yang lama, memperluas dan memperdalam dan kemungkinan informasi yang baru bertentangan dengan informasi yang lama.
2. Tahap tansformasi, yaitu tahap memahami, mencerna dan menganalisis pengetahuan baru serta ditransformasikan dalam bentuk yang baru yang mungkin bermanfaat untuk hal-hal yang lain, yaitu informasi harus dianalisis dan ditransformasikan ke dalam bentuk yang lebih abstrak atau konsetual agar dapat digunakan dalam hal lebih luas.
3. Tahap evaluasi, yaitu untuk mengetahui apakah hasil transformasi pada tahap ke dua benar atau tidak. Evaluasi kemudian dinilai sehingga diketahui mana-mana pengetahuan yang diperoleh dan transformasi dapat dimanfaatkan untuk memahami gejala-gejala lain.
Pendewasaan intelektual atau pertumbuhan kognitif seseorang ditunjukkan oleh bertambahnya ketidaktergantungan respons dari sifat stimulus. Pertumbuhan itu tergantung pada bagaimana seseorang menginternalisasi peristiwa-peristiwa menjadi suatu ”sistem simpanan” yang sesuai dengan lingkungan. Pertumbuhan itu menyangkut peningkatan kemampuan seseorang untuk mengemukakan pada dirinya sendiri atau pada orang lain tentang apa yang telah atau akan dilakukannya.
1. Tahap informasi, yaitu tahap awal untuk memperoleh pengetahuan atau pengalaman baru dimana dalam setiap pelajaran diperoleh sejumlah informasi yang berfungsi sebagai penambahan pengetahuan yang lama, memperluas dan memperdalam dan kemungkinan informasi yang baru bertentangan dengan informasi yang lama.
2. Tahap tansformasi, yaitu tahap memahami, mencerna dan menganalisis pengetahuan baru serta ditransformasikan dalam bentuk yang baru yang mungkin bermanfaat untuk hal-hal yang lain, yaitu informasi harus dianalisis dan ditransformasikan ke dalam bentuk yang lebih abstrak atau konsetual agar dapat digunakan dalam hal lebih luas.
3. Tahap evaluasi, yaitu untuk mengetahui apakah hasil transformasi pada tahap ke dua benar atau tidak. Evaluasi kemudian dinilai sehingga diketahui mana-mana pengetahuan yang diperoleh dan transformasi dapat dimanfaatkan untuk memahami gejala-gejala lain.
Pendewasaan intelektual atau pertumbuhan kognitif seseorang ditunjukkan oleh bertambahnya ketidaktergantungan respons dari sifat stimulus. Pertumbuhan itu tergantung pada bagaimana seseorang menginternalisasi peristiwa-peristiwa menjadi suatu ”sistem simpanan” yang sesuai dengan lingkungan. Pertumbuhan itu menyangkut peningkatan kemampuan seseorang untuk mengemukakan pada dirinya sendiri atau pada orang lain tentang apa yang telah atau akan dilakukannya.
Bruner menandai
perkembangan kognitif manusia sebagai berikut:
1. Perkembangan intelektul ditandai dengan adanya kemajuan dalam menanggapi suatu rangsangan.
2. Peningkatan pengetahuan tergantung pada perkembangan sistem penyimpanan informasi secara realis
3. Perkembangan intelekual meliputi perkembangan kemampuan berbicara pada diri sendiri atau pada orang lain melalui kata-kata atau lambang tentang apa yang telah dilakukan dan apa yang akan dilakukan. Hal ini berhubungan dengan kepercayaan pada diri sendiri.
4. Interaksi secara sistematis antara pembimbing, guru atau orang tua dengan anak diperlukan bagi perkembangan kognitifnya
5. Bahasa adalah kunci perkembangan kognitif karena bahasa merupakan alat komunikasi antara manusia. Untuk memahami konsep-konsep yang ada diperlukan bahasa. Bahasa diperlukan untuk mengkomunikasikan suatu konsep ke pada oraag lain.
6. Perkembaagan kognitif ditandai dengan kecakapan untuk mengemukakan beberapa alternatif secara simultan.
1. Perkembangan intelektul ditandai dengan adanya kemajuan dalam menanggapi suatu rangsangan.
2. Peningkatan pengetahuan tergantung pada perkembangan sistem penyimpanan informasi secara realis
3. Perkembangan intelekual meliputi perkembangan kemampuan berbicara pada diri sendiri atau pada orang lain melalui kata-kata atau lambang tentang apa yang telah dilakukan dan apa yang akan dilakukan. Hal ini berhubungan dengan kepercayaan pada diri sendiri.
4. Interaksi secara sistematis antara pembimbing, guru atau orang tua dengan anak diperlukan bagi perkembangan kognitifnya
5. Bahasa adalah kunci perkembangan kognitif karena bahasa merupakan alat komunikasi antara manusia. Untuk memahami konsep-konsep yang ada diperlukan bahasa. Bahasa diperlukan untuk mengkomunikasikan suatu konsep ke pada oraag lain.
6. Perkembaagan kognitif ditandai dengan kecakapan untuk mengemukakan beberapa alternatif secara simultan.
Menurut Bruner,
perkembangan kognitif juga melalui tiga tahapan yang ditentukan cara melihat
lingkungan, yaitu enaktif (0-2 tahun), ikonik (2-4 tahun), dan simbolik (5-7 tahun).
1. Tahap enaktif (0-2 tahun), seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upayanya untuk memahami lingkungan sekitarnya. Artinya dalam memahami dunia sekitarnya, anak menggunakan pengetahuan motorik. Misalnya melalui gigitan, sentuhan, pegangan dan sebagainya.
2. Tahap ikonik (2-4 tahun), seseorang memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia sekitarnya, anak belajar melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komperasi)
3. Tahap simbolik (5-7 tahun), seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika.
1. Tahap enaktif (0-2 tahun), seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upayanya untuk memahami lingkungan sekitarnya. Artinya dalam memahami dunia sekitarnya, anak menggunakan pengetahuan motorik. Misalnya melalui gigitan, sentuhan, pegangan dan sebagainya.
2. Tahap ikonik (2-4 tahun), seseorang memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia sekitarnya, anak belajar melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komperasi)
3. Tahap simbolik (5-7 tahun), seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika.
Salah
satu model kognitif yang sangat berpengaruh adalah model dari Jerome Bruner
yang dikenal dengan nama belajar penemuan (discovery learning). Bruner
menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara
aktif oleh manusia dan dengan sendirinya memberikan hasil yang paling baik.
Bruner menyarankan agar siswa hendaknya belajar melalui berpartisipasi aktif
dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip agar mereka dianjurkan untuk
memperoleh pengalaman dan melakukan eksperimen-eksperimen yang mengizinkan
mereka untuk menemukan konsep dan prinsip itu sendiri.
Pengetahuan yang diperoleh dengan belajar penemuan menunjukkan beberapa kebaikan. Diantaranya adalah:
1. Pengetahuan itu bertahan lama atau lama dapat diingat.
2. Hasil belajar penemuan mempunyai efek transfer yang lebih baik.
3. Secara menyeluruh belajar penemuan meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk berfikir secara bebas.
Pengetahuan yang diperoleh dengan belajar penemuan menunjukkan beberapa kebaikan. Diantaranya adalah:
1. Pengetahuan itu bertahan lama atau lama dapat diingat.
2. Hasil belajar penemuan mempunyai efek transfer yang lebih baik.
3. Secara menyeluruh belajar penemuan meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk berfikir secara bebas.
Asumsi umum tentang
teori belajar kognitif:
a. Bahwa
pembelajaran baru berasal dari proses pembelajaran sebelumnya.
b. Belajar
melibatkan adanya proses informasi (active learning).
c.
Pemaknaan berdasarkan hubungan.
d. Proses
kegiatan belajar mengajar menitikberatkan pada hubungan dan strategi.
Model kognitif mulai berkembang pada
abad terakhir sebagai protes terhadap teori perilaku yang yang telah berkembang
sebelumnya. Model kognitif ini memiliki perspektif bahwa para peserta didik
memproses infromasi dan pelajaran melalui upayanya mengorganisir, menyimpan,
dan kemudian menemukan hubungan antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan
yang telah ada. Model ini menekankan pada bagaimana informasi diproses. Peneliti
yang mengembangkan kognitif ini adalah Ausubel, Bruner, dan Gagne. Dari ketiga
peneliti ini, masing-masing memiliki penekanan yang berbeda. Ausubel menekankan
pada apsek pengelolaan (Advance Organizer) yang memiliki pengaruh utama
terhadap belajar.
Menurut
Ausubel, konsep tersebut dimaksudkan untuk penyiapan struktur kognitif peserta
didik untuk pengalaman belajar. Bruner bekerja pada pengelompokkan atau
penyediaan bentuk konsep sebagai suatu jawaban atas bagaimana peserta didik
memperoleh informasi dari lingkungan. Bruner mengembangkan teorinya tentang
perkembangan intelektual, yaitu: enactive, iconic, dan symbolic. Sejalan dengan
pernyataan di atas, maka untuk mengajar sesuatu tidak usah ditunggu sampai anak
mancapai tahap perkembangan tertentu. Yang penting bahan pelajaran harus ditata
dengan baik maka dapat diberikan padanya. Dengan lain perkataan perkembangan
kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan jalan mengatur bahan yang akan
dipelajari dan menyajikannya sesuai dengan tingkat perkembangannya. Penerapan
teori Bruner yang terkenal dalam dunia pendidikan adalah kurikulum spiral
dimana materi pelajaran yang sama dapat diberikan mulai dari Sekolah Dasar
sampai Perguruan tinggi disesuaikan dengan tingkap perkembangan kognitif
mereka. Cara belajar yang terbaik menurut Bruner ini adalah dengan memahami
konsep, arti dan hubungan melalui proses intuitif kemudian dapat dihasilkan
suatu kesimpulan (discovery learning). Bruner mempreskripsikan pembelajaran
hendaknya dapat menciptakan situasi agar siswa dapat belajar dari diri sendiri
melalui pengalaman dan eksperimen untuk menemukan pengetahuan dan kemampuan
yang khas baginya. Sedangkan Ausubel mempreskripsikan agar siswa dapat
mengembangkan stuasi belajar, memilih dan menstrukturkan isi, serta
menginformasikannya dalam bentuk sajian pembelajaran yang terorganisasi dari
umum menuju kepada yang rinci dalam satu satuan bahasan yang bermakna. Teori
pembelajaran Burner mementingkan pembelajaran melalui penemuan bebas (Free
discovery learning) atau penemuan yang dibimbing, atau latihan penemuan. Bruner
mementingkan aspek-aspek berikut dalam teori pembelajarannya yaitu; cara
manusia berinteraksi dengan lingkungan sekitar dan pengalamannya, perkembangan
mental manusia dan pemikiran semasa proses pembelajaran, pemikiran secara
logika, penggunaan istilah untuk memahami susunan struktur pengetahuan,
pemikiran analisis dan intuitif, pembelajaran induktif untuk menguasai
konsep/kategori, dan pemikiran metakognitif. Teori-teori tersebut dapat
diaplikasikan dalam 10 cara sebagai berikut:
1. Pembelajaran penemuan
2. Pembelajaran melalui metode induktif
3. Memberi contoh-contoh yarg berkaitan dan tidak berkaitan dengan konsep
4. Membantu siswa melihat hubungan antar konsep
5. Membiasakan siswa membuat pemikiran intuitif
6. Melibatkan siswa
7. Pengajaran untuk pelajar tahap rendah
8. Menggunakan alat bantu mengajar
9. Pembelajaran melalui kajian luar
10. Mengajar mengikuti kemampuan siswa
Teori Bruner mempunyai ciri khas dari pada teori belajar yang lain yaitu tentang ”discovery”, yaitu belajar dengan menemukan konsep sendiri. Disamping itu, karena teori Bruner ini banyak menuntut pengulangan-penulangan, maka desain yang berulang-ulang itu disebut ”kurikulum spiral kurikulum”. Secara singkat, kurikulum spiral menuntut guru untuk memberi materi pelajaran setahap demi setahap dari yang sederhana ke yang kompleks, dimana materi yang sebelumnya sudah diberikan suatu saat muncul kembali secara terintegrasi di dalam suatu materi baru yang lebih kompleks. Demikian seterusnya sehingga siswa telah mempelajari suatu ilmu pengetahuan secara utuh. Bruner berpendapat bahwa seseorang murid belajar dengan cara menemui struktur konsep-konsep yang dipelajari. Anak-anak membentuk konsep dengan melihat benda-benda berdasarkan ciri-ciri persamaan dan perbedaan. Selain itu, pembelajaran didasarkan kepada merangsang siswa menemukan konsep yang baru dengan menghubungkan kepada konsep yang lama melalui pembelajaran penemuan.
1. Pembelajaran penemuan
2. Pembelajaran melalui metode induktif
3. Memberi contoh-contoh yarg berkaitan dan tidak berkaitan dengan konsep
4. Membantu siswa melihat hubungan antar konsep
5. Membiasakan siswa membuat pemikiran intuitif
6. Melibatkan siswa
7. Pengajaran untuk pelajar tahap rendah
8. Menggunakan alat bantu mengajar
9. Pembelajaran melalui kajian luar
10. Mengajar mengikuti kemampuan siswa
Teori Bruner mempunyai ciri khas dari pada teori belajar yang lain yaitu tentang ”discovery”, yaitu belajar dengan menemukan konsep sendiri. Disamping itu, karena teori Bruner ini banyak menuntut pengulangan-penulangan, maka desain yang berulang-ulang itu disebut ”kurikulum spiral kurikulum”. Secara singkat, kurikulum spiral menuntut guru untuk memberi materi pelajaran setahap demi setahap dari yang sederhana ke yang kompleks, dimana materi yang sebelumnya sudah diberikan suatu saat muncul kembali secara terintegrasi di dalam suatu materi baru yang lebih kompleks. Demikian seterusnya sehingga siswa telah mempelajari suatu ilmu pengetahuan secara utuh. Bruner berpendapat bahwa seseorang murid belajar dengan cara menemui struktur konsep-konsep yang dipelajari. Anak-anak membentuk konsep dengan melihat benda-benda berdasarkan ciri-ciri persamaan dan perbedaan. Selain itu, pembelajaran didasarkan kepada merangsang siswa menemukan konsep yang baru dengan menghubungkan kepada konsep yang lama melalui pembelajaran penemuan.
2.4 TEORI BELAJAR KOGNITIF
MENURUT VYGOSTKY
Perkembangan kognitif dan bahasa anak-anak tidak
berkembang dalam situasi sosial yang hampa. Lev Vygotsky (1896-1934) seorang
psikolog berkebangsaan Rusia, mengenal poin penting tentang pikiran anak lebih
dari setengah abad yang lalu. Teori Vygotsky mendapat perhatian yang makin
besar ketika memasuki akhir abad ke-20.
Sezaman dengan Piaget, Vygotsky menulis di Uni Sofiet selama sepuluh tahun dari tahun 1920-1930. Namun karyanya baru dipublikasikan diduia barat pada tahun 1960an. Sejak saat itulah, tulisan-tulasannya menjadi sangat berpengaruh didunia. Vygotsky juga mengagumi Piaget , Vigotsky setuju dengan teori Piaget bahwa perkembangan kognitiv terjadi secara bertahap dan dicirikan dengan gaya berpikir yang berbeda-beda, akan tetapi Vygotsky tidak setuju dengan pandangan Piaget bahwa anak menjelajahi dunianya sendirian dan membentuk gambara realitasya sendirian, karena menurut Vygotsky suatu pengetahuan tidak hanya didapat oleh anak itu sendiri melainkan mendapat bantuan dari lingkungannya juga.
Sezaman dengan Piaget, Vygotsky menulis di Uni Sofiet selama sepuluh tahun dari tahun 1920-1930. Namun karyanya baru dipublikasikan diduia barat pada tahun 1960an. Sejak saat itulah, tulisan-tulasannya menjadi sangat berpengaruh didunia. Vygotsky juga mengagumi Piaget , Vigotsky setuju dengan teori Piaget bahwa perkembangan kognitiv terjadi secara bertahap dan dicirikan dengan gaya berpikir yang berbeda-beda, akan tetapi Vygotsky tidak setuju dengan pandangan Piaget bahwa anak menjelajahi dunianya sendirian dan membentuk gambara realitasya sendirian, karena menurut Vygotsky suatu pengetahuan tidak hanya didapat oleh anak itu sendiri melainkan mendapat bantuan dari lingkungannya juga.
Karya vygotsky didasarkan
pada pada tiga ide utama:
1. Bahwa intelektual berkembang pada saat individu menghadapi ide-ide baru dan sulit mengaitkan ide-ide tersebut dengan apa yang mereka ketahui.
2. Bahwa interaksi dengan orang lain memperkaya perkembangan intelektual.
3. Peran utama guru adalah bertindak sebagai seorang pembantu dan mediator pembelajaran siswa.
Sumbangan psikologi kognitif berakar dari teori-teori yang menjelaskan bagaimana otak bekerja dan bagaimana individu memperoleh dan memproses informasi. Pandangan yang ditawarkan Vygotsky dan para ahli psikologi kognitif yang lebih mutakhir adalah penting dalam memahami penggunaan-penggunaan strategi belajar karena tiga alasan. Pertama, mereka menggaris bawahi peran penting pengetahuan alam dalam proses belajar. Dua, mereka membantu kita memahami pengetahuan dan perbedaan antara berbagai jenis pengetahuan. Tiga, merka membantu menjelaskan bagaimana pengetahuan diperoleh manusia dan diproses didalam sistem memori otak.
1. Bahwa intelektual berkembang pada saat individu menghadapi ide-ide baru dan sulit mengaitkan ide-ide tersebut dengan apa yang mereka ketahui.
2. Bahwa interaksi dengan orang lain memperkaya perkembangan intelektual.
3. Peran utama guru adalah bertindak sebagai seorang pembantu dan mediator pembelajaran siswa.
Sumbangan psikologi kognitif berakar dari teori-teori yang menjelaskan bagaimana otak bekerja dan bagaimana individu memperoleh dan memproses informasi. Pandangan yang ditawarkan Vygotsky dan para ahli psikologi kognitif yang lebih mutakhir adalah penting dalam memahami penggunaan-penggunaan strategi belajar karena tiga alasan. Pertama, mereka menggaris bawahi peran penting pengetahuan alam dalam proses belajar. Dua, mereka membantu kita memahami pengetahuan dan perbedaan antara berbagai jenis pengetahuan. Tiga, merka membantu menjelaskan bagaimana pengetahuan diperoleh manusia dan diproses didalam sistem memori otak.
Para ahli psikologi kognitif menyebut informasi dan
pengalaman yang disimpan dalam memori jangka panjang dalam pengetahuan awal.
Pengetahuan awal (prior knowlege) merupakan kumpulan dari pengetahuan dan
pengalaman individu yang diperoleh sepanjang perjalanan hidup mereka, dan apa
yang ia bawah kepada suatu pengalaman baru.
Menurut teori Peaget Perkembangan kognitif seorang anak terjadi secara bertahap, lingkungan tidak tidak dapat mempengaruhi perkembangan pengetahuan anak. seorang anak tidak dapat menerima pengetahuan secara langsung dan tidak bisa langsung menggunakan pengetahuan tersebut, tetapi pengetahuan akan didapat secara bertahap dengan cara belajar secara aktif dilingkungan sekolah. Tapi Vygotsky tidak sependapat dengan Peaget, Vygotsky menekankan pada pembelajaran sosiokultural. Inti dari teori Vygotsky yaitu penekanan pada interaksi pembelajaran antara aspek internal dan aspek eksternal pada lingkungan social. Menurut teori Vygotsky, fungsi kognitif berasal dari interaksi sosial masing-masing individu dalam konsep budaya. Vygotsky juga yakin suatu pembelajaran tidak hanya terjadi saat disekolah atau dari guru saja, tetapi suatu pembelajaran dapat terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas yang belum pernah dipelajari disekolah namun tugas-tugas itu bisa dikerjakannya.
Menurut teori Peaget Perkembangan kognitif seorang anak terjadi secara bertahap, lingkungan tidak tidak dapat mempengaruhi perkembangan pengetahuan anak. seorang anak tidak dapat menerima pengetahuan secara langsung dan tidak bisa langsung menggunakan pengetahuan tersebut, tetapi pengetahuan akan didapat secara bertahap dengan cara belajar secara aktif dilingkungan sekolah. Tapi Vygotsky tidak sependapat dengan Peaget, Vygotsky menekankan pada pembelajaran sosiokultural. Inti dari teori Vygotsky yaitu penekanan pada interaksi pembelajaran antara aspek internal dan aspek eksternal pada lingkungan social. Menurut teori Vygotsky, fungsi kognitif berasal dari interaksi sosial masing-masing individu dalam konsep budaya. Vygotsky juga yakin suatu pembelajaran tidak hanya terjadi saat disekolah atau dari guru saja, tetapi suatu pembelajaran dapat terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas yang belum pernah dipelajari disekolah namun tugas-tugas itu bisa dikerjakannya.
Banyak developmentalis yang bekerja dibidang kebudayaan
dan pembangunan yang sepaham dengan teori Vygotsky, yang berfokus pada konteks
pembangunan social budaya. Teory Vygotsky menawarkan suatu potret perkembangan
manusia sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan dari kegiatan-kegiatan sosial
dan budaya. Vygotsky menekankan bagaimana proses-proses perkembangan mental
seperti ingatan, perhatian, dan penalaran yang melibatkan pembelajaran yang
menggunakan temuan-temuan masyarakat seperti bahasa, system matematika dan
alat-alat ingatan. Vygotsky lebih banyak menekankan bahasa dalam perkembangan
kognitif dari pada Peaget. Bagi Peaget bahasa baru tampil ketika anak sudah
mencapai tahap perkembangan yang cukup maju. pengalaman bahasa anak tergantung
pada tahap perkembangan kognitif saat itu. Pada kenyatannya, Kebanyakan
anak-anak diajari bahasa sejak usia yang sangat mudah. Bahkan saat anak mulai
bisa melihat dunia. Kita perlu mengenalkan bahasa sejak dini untuk memperoleh
keterampilan bahasa yang baik. Para pakar perilaku memandang bahasa sama dengan
perilaku lainnya, misalnya duduk, berjalan atau berlari. Mereka berpendapat
bahwa bahasa hanya urutan respon atau sebuah imitasi. Tetapi banyak diantara
kalimat yang kita hasilkan adalah baru, kita tidak mendengar atau membicarakan
sebelumnya. Kita tidak membicarakan bahasa didalam suatu ruang hampa sosial,
kita memerlukan pengenalan bahasa yang lebih dini untuk memperoleh keterampilan
bahasa yang baik.
Dewasa ini kebanyakan peneliti bahasa yakin bahwa anak-anak dari berbagai konteks social yang luas menguasai bahasa dari ibu mereka tanpa diajarkan secara khusus. Seperti halnya saat anak menangis, menangis merupakan bahasa anak saat meraka belum bisa berbicara, menangis dijadikan sebagai bahasa mereka saat mereka menginginkan sesuatu. Walaupun begitu proses pembelajaran bahasa biasanya memerlukan lebih banyak dukungan dan keterlibatan dari pengasuh dan guru. Karena dari lingkungan juga mereka akan dapat tambahan kosakata. Suatu lingkungan juga yang membangkitkan rasa ingin tahu dalam penguasaan bahasa pada anak. Perkembangan pemahaman bahasa pada anak bukan saja dipengaruhi oleh kondisi biologis anak, tetapi lngkungan bahasa disekitar anak sejak usia dini itu lebih penting. Karena bahasa berfungsi sebagai komunikasi. Dan suatu komunikasih itu digunakan sebagai alat untuk menyelesaikan masalah.
Vygotsky juga menekankan bagaimana anak-anak dibantu berkembang dengan bimbingan dari orang-orang yang sudah terampil didalam bidang-bidang tersebut. Penekanan Vygotsky pada peran kebudayaan dan sosial didalam perkembangan kognitif berbeda dengan teori Peaget tentang anak sebagai ilmuwan kecil yang kesepian. Karena Peaget memandang anak-anak sebagai pembelajaran lewat penemuan individual. Sedangkan Vygotsky lebih banyak menekankan peranan orang dewasa dan anak anak lain dalam memuahkan perkembangan si anak..Menurut Vygotsky, anak-anak lahir dengan fungsi mental yang relative dasar seperti kemampuan untuk memahami dunia luar dan memusatkan perhatian. Namun,anak-anak tidak banyak meiliki fungsi mental yang lebih tinggi. Pengalaman dengan orang lain secara berangsur menjadi semakin mendalam dan membentuk gambaran batin anak tentang dunia. Vygotsky juga menekankan baik levelkonteks sosial yang bersifat inter personal. Pada level institusional, sejarah kebudayaan menyediakan organisasi dan alat-alat yang berguna bagi aktivitas kognitif melalu instuisi seperti sekolah, penemuan seperti computer. Interaksi intuisional memberi kepada anak suatu norma-norma perilaku dan social yang luas untuk membimbing hidupnya.level interpersonal memiliki suatu pengaruh yang lebih langsung pada kefungsian mental anak. Menurut Vygotsky keterampilan-keterampilan dalam keberfungsian mental berkembang melalui interaksi social langsung. Melalui pengoranisasian pengalaman-pengalaman interaksi social yang berada dalam suatu latar belakang kebudayaan ini. Perkembangan anak menjadi matang.
Dewasa ini kebanyakan peneliti bahasa yakin bahwa anak-anak dari berbagai konteks social yang luas menguasai bahasa dari ibu mereka tanpa diajarkan secara khusus. Seperti halnya saat anak menangis, menangis merupakan bahasa anak saat meraka belum bisa berbicara, menangis dijadikan sebagai bahasa mereka saat mereka menginginkan sesuatu. Walaupun begitu proses pembelajaran bahasa biasanya memerlukan lebih banyak dukungan dan keterlibatan dari pengasuh dan guru. Karena dari lingkungan juga mereka akan dapat tambahan kosakata. Suatu lingkungan juga yang membangkitkan rasa ingin tahu dalam penguasaan bahasa pada anak. Perkembangan pemahaman bahasa pada anak bukan saja dipengaruhi oleh kondisi biologis anak, tetapi lngkungan bahasa disekitar anak sejak usia dini itu lebih penting. Karena bahasa berfungsi sebagai komunikasi. Dan suatu komunikasih itu digunakan sebagai alat untuk menyelesaikan masalah.
Vygotsky juga menekankan bagaimana anak-anak dibantu berkembang dengan bimbingan dari orang-orang yang sudah terampil didalam bidang-bidang tersebut. Penekanan Vygotsky pada peran kebudayaan dan sosial didalam perkembangan kognitif berbeda dengan teori Peaget tentang anak sebagai ilmuwan kecil yang kesepian. Karena Peaget memandang anak-anak sebagai pembelajaran lewat penemuan individual. Sedangkan Vygotsky lebih banyak menekankan peranan orang dewasa dan anak anak lain dalam memuahkan perkembangan si anak..Menurut Vygotsky, anak-anak lahir dengan fungsi mental yang relative dasar seperti kemampuan untuk memahami dunia luar dan memusatkan perhatian. Namun,anak-anak tidak banyak meiliki fungsi mental yang lebih tinggi. Pengalaman dengan orang lain secara berangsur menjadi semakin mendalam dan membentuk gambaran batin anak tentang dunia. Vygotsky juga menekankan baik levelkonteks sosial yang bersifat inter personal. Pada level institusional, sejarah kebudayaan menyediakan organisasi dan alat-alat yang berguna bagi aktivitas kognitif melalu instuisi seperti sekolah, penemuan seperti computer. Interaksi intuisional memberi kepada anak suatu norma-norma perilaku dan social yang luas untuk membimbing hidupnya.level interpersonal memiliki suatu pengaruh yang lebih langsung pada kefungsian mental anak. Menurut Vygotsky keterampilan-keterampilan dalam keberfungsian mental berkembang melalui interaksi social langsung. Melalui pengoranisasian pengalaman-pengalaman interaksi social yang berada dalam suatu latar belakang kebudayaan ini. Perkembangan anak menjadi matang.
A. Pandangan
Tentang Belajar Kognitif
Psikologi
kognitif mengatakan bahwa perilaku manusia tidak ditentukan oleh stimulus yang
berada diluar dirinya, melainkan oleh faktor yang ada pada dirinya sendiri.
Faktor-faktor internal itu berupa kemampuan atau potensi yang berfungsi untuk
mengenal dunia luar, dan dengan pengenalan itu manusia mampu memberikan respon
terhadap stimulus. Berdasarkan pada pandangan itu teori psikoloig kognitif
memandang beljar sebagai proses pemfungsian unsur-unsur kognisi terutama
pikiran, untuk dapat mengenal dan memahami stimulus yang datang dari luar.
Dengan kata lain, aktivitas belajar manusia ditentukan pada proses internal dalam
berpikir yakni pengolahan informasi.
Intisari
dari teori belajar konstruktivisme adalah bahwa belajar merupakan proses
penemuan (discovery) dan transformasi informasi kompleks yang berlangsung pada
diri seseorang. Individu yang sedang belajar dipandang sebagai orang yang
secara konstan memberikan informasi baru untuk dikonfirmasikan dengan prinsip
yang telah dimiliki, kemudian merevisi prinsip tersebut apabila sudah tidak
sesuai dengan informasi yang baru diperoleh . Agar siswa mampu melakukan
kegiatan belajar, maka ia harus melibatkan diri secara aktif.
B. Pembelajaran
Aliran Kognitif.
1. Pembelajaran menurut Jean Piaget.
Prinsip
utama pembelajaran:
a) Belajar
aktif
Untuk
membantu perkembangan kognitif anak, kepadanya perlu diciptakan kondisi belajar
yang memungkinkan anak belajar sendiri, misalnya melakukan percobaan.
Manipulasi simbol-simbol, mengajukan pertanyaan dan mencari jawaban sendiri,
membandingkan penemuan sendiri dengan penemuan temannya.
b) Belajar
lewat interaksi sosial.
Tanpa
intraksi sosial, perkembangan kognitif anank akan tetap bersifat egosentris.
Sebaliknya lewat interaksi sosial, perkembangan kognitif anak akan mengarah
pada banyak pandangan dengan macam-macam sudut pandang dari alternatif
tindakan.
c) Belajar
lewat pengalaman sendiri.
Bahasa
memang memegang peranan penting dalam perkembangan kognitif , namun bila
menggunakan bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi tanpa pernah karena
pengalaman sendiri makaperkembangan anak cenderung mengarah pada verbalisme.
2. Pembelajaran menurut JA Brunner
Dalam
pengajaran disekolah, Brunner mengajukan bahwa dalam pembelajaran hendaknya
mencakup :
a)
Pengalaman-pengalaman optimal untuk mau dan dapat belajar.
b)
Pensturkturasi pengetahuan untuk pemahaman optimal
Ø Penyajian.
a) Cara
penyajian ikonik didasarkan atas pikiran internal.
Pengetahuan
disajikan oleh sekumpulan gambar-gambar yang mewakili suatu konsep, tetapi
tidak mendefinisikan sepenuhnya konsep itu.
b) Cara
epenyajian simbolik
Penyajian
simbolik dibuktikan oleh kemauan seseorang lebih memperhatikan preposisi/
pernyataan daripada obyek-obyek yeng memberikan struktur hirarkis pada
konsep-konsep an kemungkinan alternative dalam suatu cara kombinatorial
Ø Ekonomi
Dalam
penyajian suatu pengetahuan akan dihubungkan dengan sejumlah informasi yang
dapat disimpan dalam pikiran, dan diproses untuk mencapai pemahaman.
Ø Kekuasa kekuatan
Kuasa dari
suatu penyajian juga dapat diartikan sebagai kemampuan penyajian itu untuk
menghubung-hubungkan hal-hal yang kelihatannya dangat terpisah-pisah.
c) Perincian
urutan penyajian materi pelajaran.
d) Cara
pemberian “reinforcement”.
3. Pembelajaran menurut David Ausable
Prinsip-prinsip
pembelajaran :
a)
Pengaturan awal
Pengaturan
awal dapat digunakan guru dalam membantu mengaitkan konsep lama dengan konsep baru
yang lebih tinggi maknanya.
b) Deferen
siasi progresif.
Dalam proses
belajar bermakna perlua ada pengmbangan dan evaluasi konsep-konsep. Caranya,
unsure yang paling umum dan inklusif diperkenalkan dahulu kemudian baru yang
lebih mendetail, berarti pembelajaran dari umum ke kuhsus.
c) Belajar
super ordinat
Adalah
proses struktur kognitif yang mengalami pertumbuhan kearah deferensiasi,
terjadi sejak perolehan informasi dan diasosiasikan dengan konsep dalam
struktur kognitif tersebut.
d)
Penyesuaian integrative.
C. Teori
Belajar Pengolahan Informasi
1. Penampungan kesan-kesan penginderaan jangka pendek
(STSS)
Komponen
pertama system memori yang berfungsi menerima informasi baru adalah pusat
kemampuan kesan-kesan penginderaan/disebut memori inderawi. Stimulus yang dapat
membangkitkan perhatian.
a) Stimulus Psiko fisik
(Psycohysical Stimulus)
Variasi
intensitas, ukuran, suara dan warna suatu stimulus dapat memunculkan respon
tertentu.
b) Stimulus emosional (emotional
stimulus)
Guru mamu “mengkoordinasi”
materi pembelajaran, maka akan mampu membangkitkan emosi siswa yang pada
akhirnya siswa cepat memahami pelajaran baru.
c) Stimulus kesenjangan (Diskrepant
Stimulus)
Stimulus
yang mampu membangkitkan sebagian tergantung pada aspek kebaharuan,
kompleksitas, dan keunikannya.
d) Manding stimulus (Manding
Stimulus)
Merupakan
pernyataa verbal yang memiliki konsekwensi tinggi.
2. Memori Jangka Pendek (STM) dan memori kerja (WM)
Informasi
yag diamati dan diperhatikan oleh seseorang akan masuk kedalam memori jangka
pendek (STM)atau memori kerja (WM). Melalui penampungan penginderaan jangka
pendek (STSS). STM adalah system penyimpanan yang mampu menyimpan sejumlah
informasi selama beberapa detik. Demikian pula STM merupakan bagian dari memori
dimana suatu informasi pada akhirnya dipikirkan untuk disimpan. Apabila
seseorang berhenti untuk memikirkan informasi yang baru masuk, maka nformasi
akan segera hilang dari STMnya.
Keterbatasan
kapasitas yang dimiliki STM juga memiliki implikasi penting dalam pembelajaran.Guru
tidak boleh terlalu banyak menyajikan gagasan dalam sekali pembelajaran
kecualijika gagasan itu diorganisir dengan baik dan dihubungkan dengan
informasi yang telah ada didalam LTM siswa, sehingga STM mereka dengan bantuan
LTMdapat mengkoordinasi seluruh gagasan tersebut.
3. Memori Jangka Panjang.
Teori
belajar kognitif membagi memori jangka panjang kedalam 3 bagian :
a) Memori episodic (Episodic memory)
Adalah
memori tentang pengalaman personal, yakni semacam gambaran mental mengenai
sesuatu yang telah dilihat /didengar.
b) Memori semantic (semantic memory)
Berisi
tentang fakta dan informasi tergeneralisasi yang telah diketahui sebelumnya,
konsep-konsep prinsip, dan cara menggunakan informasi tersebut, serta
keterampilan pemecahan masalah dan strategi belajar.
c) Memori procedural (procedural
memory)
Menunju pad
apengetahuan tentang cara mengerjakan sesuatu, t erutama alam mengerjakan
tugas-tugas fisik. Jenis memori ini disimpan dalam serangkaian pasangan
stimulus-respon.
4. Lupa dan Ingat.
Salah satu
alasan penting orang mengalami lupa adalah karena faktor interferensi.
Interferensi terjadi apabila informasi bercampur dengan atau tergeser oleh
informasi yang lain. Salah satu bentuk interferensi adalah ketika orang
mengalami hambatan dalam melakukan rehersal atas informasi yang dimiliki karena
adanya informasi lain.
Interferensi ada 2 bentuk :
1. Interferensi
tetro aktif terjadi apabila informasi yang telah dipelajari mengganggu siswa
dalam mempelajari infomasi berikutnya.
2. Interferensi proaktif, terjadi apabila
informais yang baru dipelajari mengganggu seseorang dalam mengingat informasi
yang telah dipelajari sebelumnya.
Cara untuk mengurangi interfernsi
retro aktif:
1. Konsep yang
sama atau yang memiliki karakteristik sama hendaknya tidak diajarkan dalam
waktu yang berdekatan.
2. Menggunakan metode pembelajaran yang berbeda
dalam mengajarkan konsep yang sama, menggunakan metode pembelajaran bervariasi
dalam mengajarkan konsep yang sama.
Bentuk pelancaran dalam
membangkitkan ingatan.
a) Pelancaran proaktif
Yaitu
seseorang akan mengingat informasi sebelumnya apa bila informasi yang baru
dipelajari memiliki karakteristik yang sama.
b) Penalaran retro aktif.
Yaitu
seseorang yang mempelajari informasi baru akan memantapkan ingatan informasi
yang telah dipelajari.
TEORI BELAJAR SIBERNETIK
A.PENDAHULUAN
Abstract
Tujuan penelitian ini pertama, untuk
mengetahui tahap-tahap penyelesaikan aplikasi integral tertentu dalam
matakuliah matematika teknik yang dibangun dari teori belajar sibernetik, kedua
untuk mengetahui divergensi dari soal-soal aplikasi integral tertentu dalam
matakuliah matematika teknik dan ketiga adalah untuk mengetahui apakah
implementasi teori belajar sibernetik dalam pembelajaran matakuliah matematika
teknik dapat meningkatkan prestasi hasil belajar mahasiswa. Jenis penelitian
ini adalah penelitian eksperimen yang melibatkan dua kelompok belajar, satu
kelompok dikenakan perlakuan sedangkan kelompok yang lain sebagai kelompok
control. Kelompok perlakuan diberi pembelajaran dengan teori sibernetika
sedangkan kelompok control diberi pelajaran biasa. Populasi dalam penelitian
ini adalah mahasiswa yang tergabung dalam 2 kelompok belajar yang menempuh
matakuliah matematika teknik, yaitu kelompok pada kelas B dan D Jurusan
Pendidikan Teknik Mesin Fakultas Teknik, Universitas Negeri Yogyakarta Tahun
2008. Jumlah mahasiswa dalam kelas B adalah 32 sebagai kelompok perlakuan
sedangkan dalam kelas D adalah 49 sebagai kelompok kontrol. Sampel dalam
penelitian ini diambil dengan cara purposive dan semua mahasiswa dalam populasi
dijadikan sampel penelitian, jadi dalam penelitian ini termasuk penelitian
populasi. Data dalam penelitian ini diambil dengan instrumen tes matakuliah
matematika teknik yang berjumlah 5 butir berisi soal-soal aplikasi integral
tertentu meliputi perhitungan luas bidang, panjang busur, luas benda putar,
momen inersia dan tekanan zat cair. Data yang terkumpul dianalisis dengan cara
kualitatif yaitu melihat rerata skor yang diperoleh kedua kelompok tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama ada 7 tahap dalam penyelesaian soal
aplikasi integral tertentu, kedua divergensi dalam soal matematika teknik dapat
dilakukan dengan mengubah konstanta, fungsi integrand, posisi benda dan
variabel yang digunakan, ketiga bahwa pembelajaran dengan teori belajar
sibernetika dapat meningkatkan hasil prestasi belajar mahasiswa dalam
matakuliah matematika teknik. Rerata skor yang diperoleh kelompok perlakuan
dalam kelas B adalah 186,875, sedangkan rerata skor yang diperoleh kelompok
control dalam kelas D adalah 152,857. Dari perbandingan kedua rerata tersebut
dapat disimpulkan bahwa kelompok yang diberi perlakuan pembelajaran dengan
teori sibernetika ternyata lebih baik dari kelompok control.
Pembelajaran merupakan upaya membelajarkan siswa. Untuk
membelajarkan seseorang, diperlukan pijakan teori agar apa yang dilakukan guru,
dosen, pelatih, instruktur maupun siapa saja yang berkeinginan untuk
membelajarkan orang dapat berhasil dengan baik. Ada dua pijakan teori yang
dapat dijadikan pegangan agar pembelajaran berhasil dengan baik. Kedua teori
tersebut adalah teori belajar yang bersifat deskriptif. Teori ini memberikan
bagaimana seseorang melakukan kegiatan belajar. Teori belajar yang banyak
diterapkan oleh para ahli pembelajaran itu meliputi teori behavioristik, teori
kognitivistik, teori humanistik, dan teori belajar sibernatik. Semua teori
belajar tersebut memiliki aplikasi yang berbeda-beda dalam kegiatan
pembelajaran. Demikian juga halnya dengan teori belajar sibernatik sebagaiman
akan dipaparkan oleh penyusun dalam makalah ini.
Pada makalah ini akan dikaji tentang pandangan teori sibernatik
terhadap proses belajar dan aplikasinya dalam kegiatan pembelajaran. Pembahasan
diarahkan pada hal-hal seperti pengertian belajar menurut teori sibernatik,
aliran-aliran sibernatik, aplikasi teori belajar sibernetik, implementasi teori
sibernatik dalam pembelajaran. Kegiatan makalah ini diakhiri dengan memaparkan
keunggulan dan kelemahan teori sibernetik dalam kegiatan pembelajaran.
Makalah ini bertujuan kepada semua pendidik diharapkan memiliki kemampuan untuk mengkaji hakekat belajar menurut teori sibernetik dan penerapannya dalam kegiatan pembelajaran.
Makalah ini bertujuan kepada semua pendidik diharapkan memiliki kemampuan untuk mengkaji hakekat belajar menurut teori sibernetik dan penerapannya dalam kegiatan pembelajaran.
B.PEMBAHASAN
a.Pengertian teori belajar sibernetik
Teori sebernetik merupakan teori belajar yang paling baru dibandingkan
dengan teori – teori belajar lainnya. Teori ini berkembang sejalan dengan
perkembangan teknologi dan ilmu informasi. Menurut teori sebernetik belajar adalah
pemprosesan informasi. Teori ini lebih mementingkan sistem informasi dari pesan
tersebut. Teori sebernetik beramsumsi bahwa tidak ada satu jenispun cara
belajar yang ideal untuk segala situasi. Sebab cara belajar sangat ditentukan
oleh sistem informasi.
Teori
ini telah dikembangkan oleh para penganutnya, antara lain seperti pendekatan –
pendekatan yang berorientasi pada pemprosesan informasi yang dikembangkan oleh
Gage dan Berliner, Biehler dan Snowman, Baine, serta Tennyson,bahwa proses
pengolahan informasi dalam ingatan dimulai dari proses penyandian informasi
(encoding), diikuti dengan penyimpanan informasi (storage), dan diakhiri dengan
mengungkapkan kembali informasi – informasi yang telah disimpan dalam ingatan
(retrieval).
Menurut teori sibernetik, belajar adalah pengolahan informasi. Teori ini
mempunyai kesamaan dengan teori kognitif yaitu mementingkan proses belajar dari
pada hasil belajar. Proses belajar memang penting dalam teori sibernetik, namun
yang lebih utama lagi adalah sistem informasi yang akan dipelajari siswa.
Asumsi lain dari teori sibernetik adalah bahwa tidak ada satu proses belajarpun
yang ideal untuk situasi, dan yang cocok untuk semua siswa. Sebab cara belajar
sangat ditentukan oleh sistem informasi, sebuah informasi mungkin akan
dipelajari oleh seorang siswa dengan satu macam proses belajar, dan informasi
yang sama mungkin akan dipelajari siswa lain melalui proses belajar yang
berbeda beda.
b.Kelebihan
Teori Sibernetik
1. Cara berfikir yang berorientasi pada
proses lebih menonjol.
2. Penyajian pengetahuan memenuhi aspek
ekonomis.
3. Kapabilitas belajar dapat disajikan
lebih lengkap.
4. Adanya keterarahan seluruh kegiatan
kepada tujuan yang ingin dicapai.
5. Adanya transfer belajar pada
lingkungan kehidupan yang sesungguhnya.
6. Kontrol belajar memungkinkan belajar
sesuai dengan irama masing-masing individu
7. Balikan informative memberikan
rambu-rambu yang jelas tentang tingkat unjuk kerja yang telah dicapai
dibandingkan dengan unjuk kerja yang diharapkan.
c. Kelemahan Teori Sibernetik
Ini
dikritik karena lebih menekankan pada sistem informasi yang dipelajari, dan
kurang memperhatikan bagaimana proses belajar, , sedangkan bagaimana proses
belajar berlangsung sangat ditentukan oleh system informasi tersebut. Selain
itu teori ini tidak membahas proses belajar secara langsung sehingga hal ini
menyulitkan penerapannya. Teori ini memandang manusia sebagai pengolah
informasi yang akan dipelajari, pemikir, dan pencipta. Sehingga diasumsikan
manusia mampu mengolah, menyimpan, dan mengorganisasikan informasi. Teori
aliran ini tidak secara langsung membahas tentang proses belajar sehingga
menyulitkan dalam penerapan.
Ulasan
teori ini cenderung ke dunia psikologi dan informasi dengan mencoba melihat
mekanisme kerja otak. Karena pengetahuan dan pemahaman akan mekanisme ini
sangat terbatas maka terbatas pula kemampuan untuk menerapkan teori ini. Pada
akhirnya, masing-masing aliran teori belajar ini mengandung
keunggulan-keunggulan dan kelemahan-kelemahannya sendiri yang harus kita
ketahui untuk dapat mengkombinasikan dalam penerapannya dengan pendekatan
belajar yang lain sehingga dicapai hasil proses belajar yang lebih baik.
d.
Aplikasi teori belajar sibernetik
Aplikasi
teori belajar sibernetik dalam multimedia sejalan dengan perkembangan teknologi
dan informasi Dalam dunia pendidikan, dikenal beberapa teori pembelajaran, dari
teori tersebut dijadikan sebagai pijakan dalam penerapan pembelajaran di
ruang-ruang pendidikan di berbagai negara. Sebelumnya banyak orang meyakini
bahwa pembelajaran merupakan perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya
interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu
bila ia telah mampu menunjukkan perubahan tingkah lakunya dari tidak mengerti
menjadi mengerti, dari yang belum mengenal apa dan bagaimana melakukan sesuatu
menjadi mengerti terhadap apa dan bagaimana yang harus diperlakukan sesuatu
tersebut.
Dalam
pemahaman ini yang terpenting adalah input (masukan) berupa stimulus dan output
(keluaran) berupa respon. Yang selanjutnya dikenal sebagai teori behavioristik.
Sesuai namanya yang diambil dari kata behavior yang berarti tingkah laku, teori
ini didasarkan pada prinsip bahwa pembelajaran seharusnya didesain untuk
menghasilkan tingkah laku peserta didik yang dapat diobservasi. Dengan kata
lain, perubahan tingkah laku dalam teori ini dapat diukur dan perubahan yang
dapat dilihat secara jelas. Seperti yang dikemukakan Simonson dan Thompson,
behaviorism is based on the principle that instruction should be designed to
produce observable and quantifiable behaviors in the learner (Behaviorisme
didasarkan pada prinsip bahwa pembelajaran seharusnya didesain untuk
menghasilkan tingkah laku pembelajar yang dapat diamati dan diukur).
Dalam
perkembangan selanjutnya istilah ini menjadi popular sebagai salah satu domain
atau wilayah/ranah psikologis manusia yang meliputi setiap perilaku mental yang
berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan, informasi, pemecahan
masalah, kesenjangan, dan keyakinan. Ranah kejiwaan yang berpusat di otak ini
juga berhubungan dengan konasi (kehendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian
dengan ranah rasa Teori belajar kognitif memandang peserta didik sebagai
“sumber rencana, perhatian, tujuan, gagasan, ingatan, dan emosi yang secara
aktif digunakan untuk memperhatikan, menyeleksi, dan membentuk makna dari
stimulus dan pengetahuan dari pengalaman”. Menurut teori belajar kognitif
belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman.
Asumsi
dasar teori ini adalah bahwa setiap orang memiliki pengalaman dan pengetahuan
pada dirinya sendiri. Pengalaman dan pengetahuan tersebut tertata dalam bentuk
struktur kognitif. Untuk itu, proses belajar yang baik adalah apabila materi
pembelajaran yang baru beradaptasi dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki
oleh peserta didik.
Proses
akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru.
Sedangkan proses equilibrasi adalah penyesuaian berkesinambungan antara
asimilasi dan akomodasi. Misalnya peserta didik yang sudah mengetahui prinsip
penjumlahan, jika guru memperkenalkan prinsip perkalian, maka proses
pengintegrasian antara prinsip penjumlahan yang sudah ada di benak peserta
didik dengan prinsip perkalian sebagai informasi baru, maka proses inilah yang
disebut asimilasi.
Tetapi
jika peserta didik diberi soal perkalian maka situasi ini disebut akomodasi
yang dalam hal ini berarti pemakaian prinsip perkalian tersebut dalam situasi
yang baru dan spesifik. Menurut teori ini proses pembelajaran akan berjalan
baik bila materi pelajaran yang baru beradaptasi (bersinambungan) secara “klop”
dengan struktur kognitif yang telah dimilikinya.
Seperti
yang pernah dikemukan Piaget bahwa perkembangan intelektual sebagai produk dari
adaptasi “Intelligence is an adaptation… life is a continuous creation of
increasingly complex forms and a progressives balancing of these forms with the
environment” (Kecerdasan adalah sebuah adaptasi… kehidupan dimaknai sebagai
sebuah penciptaan yang berkelanjutan dari bentuk-bentuk kompleks yang terus
bertambah dan keseimbangan kemajuan dari bentuk ini dengan lingkungan).
Senada
dengan perkembangan teori-teori belajar lain, teori kognitifpun kini dianggap
masih belum mewakili zaman saat ini. Ketika era teknologi mulai merebak dan
merambah ke berbagai wilayah termasuk dalam dunia pendidikan, maka muncullah
teori belajar baru bernama teori sibernetik. Teori ini relatif baru dengan
teori-teori belajar yang lain. Menurut teori sibernetik, dijelaskan bahwa
belajar adalah pengolahan informasi. Dalam teori sibernetik proses belajar
memegang peranan penting, namun yang lebih penting lagi adalah pengolahan
sistim informasi. Dengan kata lain, sistim informasi dipandang sangat memegang
peranan penting dalam memudahkan penyampaian materi pembelajaran yang akan
disajikan kepada peserta didik.
Asumsi
lain dari teori sibernetik adalah bahwa tidak ada satu proses belajar manapun
yang ideal untuk segala situasi dan cocok untuk semua peserta didik, karena
cara belajar sangat ditentukan oleh sistim informasi. Teori ini sangat relevan
dan menjadi landasan pengembangan multimedia yang berkembang di dunia
pendidikan.
Pada
taraf aplikasi, teori sibernetik dalam pembelajaran telah banyak dikembangkan
di antaranya adalah pendekatan-pendekatan yang berorientasi pada pemrosesan
informasi. Berdasarkan pendekatan ini, Reigeluth, Bunderson & Merril
mengembangkan strategi penataan isi atau materi pembelajaran berdasarkan empat
hal, yakni : pemilihan (selection), penataan urutan (sequencing), rangkuman
(summary), dan sintesis (synthesizing).
Menurut
mereka, jika isi pelajaran ditata dengan menggunakan dari urutan umum ke rinci,
maka materi pembelajaran pada tingkat umum akan menjadi kerangka untuk
mengaitkan isi-isi lain yang lebih rinci. Hal ini sesuai dengan struktur
representasi informasi di dalam long term memory, sehingga akan mempermudah
proses penelusuran kembali informasi. Jika rangkuman diintegrasikan ke dalam
strategi penataan materi pembelajaran, maka akan berfungsi untuk menunjukkan
kepada pebelajar informasi yang perlu diberi perhatian, di samping itu juga
menghemat kapasitas working memory.
Prinsip-prinsip
belajar berdasarkan teori belajar yang telah dikemukakan, banyak teraplikasi
dalam pembelajaran dengan multimedia pembelajaran. Maka bukan hal yang aneh
ketika banya multimedia pembelajaran hadir di ruang-ruang kelas. Hal ini karena
dianggap multimedia baik berupa cd (Compac disk, dll) reperensentasi dari
berbagai teori belajar lainya termasuk behavioristik dan kognitif.
Penerapan
pada teori behavioristik, terlihat jelas dari pemberian stimulus pada peserta
didik (user) dalam menggunakan multimedia semisal dengan cara membuka program,
memilih menu materi, mengejakan latihan, dsbnya. Sedangkan aplikasi teori belajar
kognitif dalam multimedia pembelajaran yang akan dikembangkan pada perolehan
pengetahuan baru yang didesain secara khusus bagi peserta didik. Pengetahuan
lama akan diperkuat oleh pengetahuan baru tersebut sehingga dapat
berkesinambungan dan klop.
Aplikasi
teori belajar sibernetik dalam multimedia sejalan dengan perkembangan teknologi
dan informasi, peserta didik dapat mengaplikasikan ilmu IT yang di dapat dengan
cara menggunakan multimedia pembelajaran. Serta juga dengan penataan sistim
informasi dari materi yang akan disajikan pada peserta didik, dan dapat di
peroleh secara lengkap.
Dengan
multimedia pembelajaran, peserta didik dapat belajar sesuai kebutuhan,
kecepatan, keluwesan, dan dapat memilih materi yang ingin di peroleh. Serta
bisa digunakan secara individual dan dapat dilakukan secara berulang jika belum
memahami pada materi tertentu. Disinilah terlihat keunggulan pemanfaatan
teknologi dalam pembelajaran, walau bagi sebagian orang masih dianggap lebih
banyak madharat dari pada manfaat.
Aplikasi
teori belajar sibernetik dalam kegiatan pembelajaran yang dikemukakan oleh Suciati dan Prasetya
Irwan (2001) baik diterapkan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1.Menentukan tujuan-tujuan
pembelajaran
2.Menentukan materi pembelajaran
3.Mengkaji sistem informasi yang terkandung
dalam materi pelajaran
4.Menentukan pendekatan belajar yang
sesuai dengan sistem informasi tersebut (apakah algoritmik atau heuristik)
5.Menyusun materi pelajaran dalam
urutan yang sesuai dengan system informasinya.
6.Menyajikan
materi dan membimbing siswa belajar dengan pola yang sesuai dengan urutan
materi pelajaran.
e. Implementasi Teori Sibernetik dalam Kegiatan Pembelajaran
Implementasinya,
teori belajar sibernetik telah dikembangkan oleh beberapa tokoh, diantaranya adalah
pendekatan-pendekatan yang berorientasi pada pemrosesan informasi ytang
dikembangkan oleh Gage dan Berline, Biehler, Snowman, Baine, dan Tennyson.
Teori pemrosesan informasi umumnya berpijak
pada tiga asumsi, yaitu:
a. Bahwa antara stimulus dan respon
terdapat suatu seri tahapan pemrosesan informasi dimana pada masing-masing
tahapan dibutuhkan dalam jumlah waktu
tertentu.
b. Stimulus yang diproses melalui
tahap-tahapan tadi akan mengalami perubahan bentuk ataupun isinya.
c. Salah satu dari tahapan mempunyai
kapasitas yang terbatas.
Dari ketiga asumsi tersebut, dikembangkan
teori tentang komponen. Komponen struktur dan pengatur alur pemrosesan
informasi (proses kontrol). Komponen-komponen pemrosesan informasi dipilih
berdasarkan perbedaan fungsi, kapasitas bentuk informasi, serta proses
terjadinya “lupa’’.
Ketiga komponen tesebut adalah:
1. Sensory Recoptor (SR)
Sensory Recptor (SR) merupakan sel tempat
pertama kali informasi diterima dari luar. Di dalam SR informasi ditangkap
dalam bentuk aslinya, bertahan dalam waktu sangat singkat, dan informasi tadi
mudah terganggu atau berganti.
2. Warking Memory (WM)
Working
Memory (WM) diasumsikan mampu menangkap informasi yang diberi perhatian oleh
individu. Karakteristik WM adalah memiliki kapasitas terbatas (informasi hanya
mampu bertahan kurang lebih 15 detik tanpa pengulangan) dan informasi dapat
disandi dalam bentuk yang berbeda dari stimulus aslinya. Artinya agar informasi
dapat bertahan dalam WM, upayakan jumlah informasi tidak melebihi kapasitas
disamping melakukan pengulangan.
3. Long Term Memory (LTM)
Dalam
Long Term Memory (LTM) diasumsikan:
1)Berisi semua pengetahuan yang telah
dimiliki individu
2)Mempunyai kapasitas tidak terbatas
3)Sekali informasi disimpan di dalam
LTM, ia tidak akan pernah terhapus atau
hilang.
Persoalan lupa pada tahapan ini
disebabkan oleh kesulitan atau kegagalan memunculkan kembali informasi yang
diperlukan.
Sejalan dengan teori pemrosesan
informasi, Asubel (1968) mengemukakan bahwa perolehan pengetahuan baru merupakan
fungsi struktur kognitif yang telah dimiliki individu. Berpijak pada kajian
diatas, Reigeluth dan Stein (1983) mengatakan bahwa pengetahuan ditata di dalam
struktur kognitif secara hirarkhis. Ini berarti pengetahuan yang lebih umum dan
abstrak yang diperoleh lebih dulu oleh individu dapat mempermudah perolehan pengetahuan
baru yang rinci.
Proses
pengelolaan informasi dalam ingatan dimulai dari proses penyandian informasi
(encoding), diikuti dengan penyimpanan informasi (stroge), dan diakhiri dengan
mengungkapkan kembali informasi-informasi yang telah disimpan dalam ingatan
(retrival). Teori belajar pemrosesan informasi mendeskripsikan tindakan belajar
merupakan proses internal yang mencakup beberapa tahapan.
Sembilan
tahapan dalam peristiwa pembelajaran sebagai cara-cara eksternal yang
berpotensi mendukung proses-proses internal dalam kegiatan belajar adalah
1.Menarik perhatian
2.Memberitahukan tujuan pembelajaran
kepada siswa
3.Merangsang ingatan pada pra syarat
belajar
4.Menyajikan bahan rangsanyan
5.Memberikan bimbingan belajar
6.Mendorong unjuk kerja
7.Memberikan balikan informative
8.Menilai unjuk kerja
9.Meningkatkan retensi dan alih
belajar.
Dalam bentuknya yang lebih praktis, teori ini misalnya telah
dikembangkan oleh Landa (dalam pendekatan yang disebut algoritmik dan
heuristik), pask dan Scott (dengan pembagian siswa tipe
menyeluruh atau wholist dan tipe serial atau serialist), atau
pendekatan-pendekatan lain yang berorientasi pada pengolahan informasi.
1.Landa
Landa
merupakan salah seorang ahli Psikologi yang beraliran Sibernetik. Menurut
Landa, ada dua macam proses berpikir. Pertama, disebut proses berpikir algoritmik,
yaitu proses berpikir linier, konvergen, lurus menuju ke satu target tertentu.
Jenis kedua adalah cara berpikir heuristik, yakni cara berpikir
divergen, menuju kebeberapa target sekaligus.
Proses
belajar akan berjalan denga baik jika apa yang hendak dipelajari itu atau masalah
yang hendak dipecahkan (atau dalam istilah yang lebih teknis yaitu sistem
informasi yang endak dipelajari) diketahui ciri-cirinya. Satu hal lebih tepat
apabila disajikan dalam bentuk “terbuka” dan memberi keleluasaan siswa
untukberimajinasidan berpikir. Misalnya, agar siswa mampu memahami sebuah rumus
matematika, biasanaya mengikuti urutan tahap demi tahap yang sudah teratur dan
mengarah kesatu target tertentu. Namun, utuk memahami makna suatu konsep yang
luas dan banyak memiliki interpretasi (misalnya konsep “burung”), maka akan
lebih baik jika proses berpikir siswa dibimbing ke arah yang “menyebar”
(heuristik), dengan harapan pemahaman mereka terhadap konsep itu tidak tunggal,
monoton, dogmatis, dan linier.
2. Pask dan Scott
Ahli lain adalah yang pemikirannya
beraliran sibernetik adalah pask dan scott. Pendekatan serialis yang diusulkan
oleh pask dan scott sama dengan pendekatan algoritmik. Namun, cara berpikir
menyeluruh (wholist) tidak sama dengan heuristik. Cara berpikir menyeluruh
adalah berpikir yang cenderung melompat ke depan, langsung ke gambaran lengkap
sebuah sistem informasi. Ibarat melihat lukisan, bukan detail-detail yang kita
amati lebih dahulu, tetapi seluruh lukisan itu sekaligus, baru sesudah itu ke
bagian-bagian yang lebih kecil.
Pendekatan
yang berorientasi pada pengelolaan informasi menekankan beberapa hal seperti
ingatan jangka pendek (short term memory), ingatan jangka panjang (long
term memory), dan sebagainya, yang berhubungan dengan apa yang terjadi dalam
otak kita dalam proses pengolahan informasi. Kita lihat pengaruh aliran Neurobiologis
sangat terasa di sini. Namun, menurut teori sibernetik ini, agar proses
belajar berjalan seoptimal mungkin, bukan hanya car kerja otak kita yang perlu
dipahami, tetapi juga lingkungan yang mempengaruhi mekanisme itu pun perlu
diketahui.
A. Pengertian
humanistic
Pengertian
humanistik yang beragam membuat batasan-batasan aplikasinya dalam dunia
pendidikan mengundang berbagai macam arti pula. Sehingga perlu adanya satu
pengertian yang disepakati mengenai kata humanistik dala pendidikan. Dalam
artikel “What is Humanistik Education?”, Krischenbaum menyatakan bahwa sekolah,
kelas, atau guru dapat dikatakan bersifat humanistik dalam beberapa kriteria.
Hal ini menunjukkan bahwa ada beberapa tipe pendekatan humanistik dalam
pendidikan. Ide mengenai pendekatan-pendekatan ini terangkum dalam psikologi
humanistik.
Kemampuan
positif disini erat kaitannya dengan pengembangan emosi positif yang terdapat
dalam domain afektif, misalnya ketrampilan membangun dan menjaga relasi yang
hangat dengan orang lain, bagaimana mengajarkan kepercayaan, penerimaan,
keasadaran, memahami perasaan orang lain, kejujuran interpersonal, dan
pengetahuan interpersonal lainnya. Intinya adalah meningkatkan kualitas ketrampilan
interpersonal dalam kehidupan sehari-hari.
Secara
singkatnya, pendekatan humanistik dalam pendidikan menekankan pada perkembangan
positif. Pendekatan yang berfokus pada potensi manusia untuk mencari dan
menemukan kemampuan yang mereka punya dan mengembangkan kemampuan tersebut. Hal
ini mencakup kemampuan interpersonal sosial dan metode untuk pengembangan diri
yang ditujukan untuk memperkaya diri, menikmati keberadaan hidup dan juga
masyarakat. Ketrampilan atau kemampuan membangun diri secara positif ini
menjadi sangat penting dalam pendidikan karena keterkaitannya dengan
keberhasilan akademik.
Dalam
teori belajar humanistik, belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami
lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha
agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya.
Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang
pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya.
Tujuan
utama para pendidik adalah membantu si siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu
membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai
manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam
diri mereka.
B. Tokoh-Tokoh Teori Humanistik
Bersama dengan Donald Snygg (1904-1967) mereka
mencurahkan banyak perhatian pada dunia pendidikan. Meaning (makna atau arti)
adalah konsep dasar yang sering digunakan. Belajar terjadi bila mempunyai arti
bagi individu. Guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak
relevan dengan kehidupan mereka. Anak tidak bisa matematika atau sejarah bukan
karena bodoh tetapi karena mereka enggan dan terpaksa dan merasa sebenarnya
tidak ada alasan penting mereka harus mempelajarinya. Perilaku buruk itu
sebenarnya tak lain hanyalah dati ketidakmampuan seseorang untuk melakukan
sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan baginya.
Untuk itu guru harus memahami perlaku siswa dengan mencoba memahami dunia persepsi siswa tersebut sehingga apabila ingin merubah perilakunya, guru harus berusaha merubah keyakinan atau pandangan siswa yang ada. Perilaku internal membedakan seseorang dari yang lain. Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana mestinya.
Combs memberikan lukisan persepsi dir dan dunia seseorang
seperti dua lingkaran (besar dan kecil) yang bertitik pusat pada satu.
Lingkaran kecil (1) adalah gambaran dari persepsi diri dan lingkungan besar (2)
adalah persepsi dunia. Makin jauh peristiwa-peristiwa itu dari persepsi diri
makin berkurang pengaruhnya terhadap perilakunya. Jadi, hal-hal yang mempunyai
sedikit hubungan dengan diri, makin mudah hal itu terlupakan.
Teori
Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua hal :
(1) suatu usaha yang positif untuk berkembang
(1) suatu usaha yang positif untuk berkembang
(2)
kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu.
Maslow
mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan yang
bersifat hirarkis.Tetapi di
sisi lain seseorang juga memiliki dorongan untuk lebih maju ke arah keutuhan,
keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri
menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri(self).
Rogers membedakan dua tipe belajar, yaitu:
1. Kognitif
(kebermaknaan)
2. experiential
( pengalaman atau signifikansi)
Meskipun
teori yang dikemukan Rogers adalah salah satu dari teori holistik, namun
keunikan teori adalah sifat humanis yang terkandung didalamnya. Teori
humanistik Rogers pun menpunyai berbagai nama antara lain : teori yang berpusat
pada pribadi (person centered), non-directive, klien (client-centered),
teori yang berpusat pada murid (student-centered), teori
yang berpusat pada kelompok (group centered), dan person to person).
Namun istilah person centered yang sering digunakan untuk teori Rogers.
Rogers menyebut teorinya bersifat humanis dan menolak
pesimisme suram dan putus asa dalam psikoanalisis serta menentang teori
behaviorisme yang memandang manusia seperti robot. Teori humanisme Rogers lebih
penuh harapan dan optimis tentang manusia karena manusia mempunyai
potensi-potensi yang sehat untuk maju. Dasar teori ini sesuai dengan pengertian
humanisme pada umumnya, dimana humanisme adalah doktrin, sikap, dan cara hidup
yang menempatkan nilai-nilai manusia sebagai pusat dan menekankan pada kehormatan,
harga diri, dan kapasitas untuk merealisasikan diri untuk maksud tertentu.
Teori Humanistik Carl Rogers
Asumsi
dasar teori Rogers adalah:
-
Kecenderungan formatif
Segala
hal di dunia baik organik maupun non-organik tersusun dari hal-hal yang lebih
kecil.
- Kecenderungan
aktualisasi
Kecenderungan
setiap makhluk hidup untuk bergerak menuju ke kesempurnaan atau pemenuhan
potensial dirinya. Tiap individual mempunyai kekuatan yang kreatif untuk
menyelesaikan masalahnya.
Struktur
Kepribadian
1. Organisme
Pengertian
organisme mencakup tiga hal:
·
Mahkluk hidup
organisme
adalah mahkluk lengkap dengan fungsi fisik dan psikologisnya dan merupakan
tempat semua pengalaman, potensi yang terdapat dalam kesadaran setiap saat,
yakni persepsi seseorang mengenai kejadian yang terjadi dalam diri dan dunia
eksternal
·
Realitas Subyektif
Oranisme
menganggap dunia seperti yang dialami dan diamatinya. Realita adalah persepsi
yang sifatnya subyektif dan dapat membentuk tingkah laku.
·
Holisme
Organisme
adalah satu kesatuan sistem, sehingga perubahan dalam satu bagian akan
berpengaruh pada bagian lain. Setiap perubahan memiliki makna pribadi dan
bertujuan, yaitu tujuan mengaktualisasi, mempertahankan, dan mengembangkan
diri.
2. Medan Fenomena
Medan fenomena adalah keseluruhan pengalaman, baik
yang internal maupun eksternal, baik disadari maupun tidak disadari. Medan
fenomena ini merupakan seluruh pengalaman pribadi seseorang sepanjang hidupnya
di dunia, sebagaimana persepsi subyektifnya.
3. Diri
Konsep diri mulai terbentuk mulai masa balita ketika potongan-potongan
pengalaman membentuk kepribadiannya dan menjadi semakin mawas diri akan
identitas dirinya begitu bayi mulai belajar apa yang terasa baik atau
buruk, apa ia merasa nyaman atau tidak. Jika struktur diri itu sudah terbentuk,
maka aktualisasi diri mulai terbentuk. Aktualisasi diri adalah kecenderungan
untuk mengaktualisasikan sang diri sebagai mana yang dirasakan dalam kesadaran.
Sehingga kecenderungan aktualisasi tersebut mengacu kepada pengalaman organik
individual, sebagai suatu kesatuan yang menyeluruh, akan kesadaran dan
ketidak-sadaran, psikis dan kognitif.
Untuk mencegah tidak konsistennya pengalaman organik dengan konsep diri,
maka perlu diadakan pertahanan diri dari kegelisahan dan ancaman adalah
penyangkalan dan distorsi terhadap pengalaman yang tidak konsisten. Distorsi
adalah salah interpretasi pengalaman dengan konsep diri, sedangkan penyangkalan
adalah penolakan terhadap pengalaman. Keduanya menjaga konsistensi antara
pengalaman dan konsep diri supaya berimbang.
1.
Penerimaan Positif (Positive Regard) → Orang
merasa puas menerima regard positif, kemudian juga merasa puas dapat memberi
regard positif kepada orang lain.
2. Konsistensi
dan Salingsuai Self (Self Consistensy and Congruence) → organisme
berfungsi untuk memelihara konsistensi (keajegkan = keadaan tanpa konflik )
dari persepsi diri, dan kongruen (salingsuai) antara persepsi self dengan
pengalaman.
3. Aktualisasi
Diri (Self Actualization) → Freud memandang
organisme sebagai sistem energi, dan mengembangkan teori bagaimana energi
psikik ditimbulkan, ditransfer dan disimpan. Rogers memandang organisme
terus menerus bergerak maju. Tujuan tingkahlaku bukan untuk mereduksi tegangan
enerji tetapi mencapai aktualisasi diri yaitu kecenderungan dasar organisme
untuk aktualisasi: yakni kebutuhan pemeliharaan (maintenance) dan
peningkatan diri (enhancement).
1.
Terbuka
untuk mengalami (openess to experience)
a.
Orang
yang terbuka untuk mengalami mampu
mendengar dirinya sendiri, merasakan mendalam, baik emosional maupun kognitif
tanpa merasa terancam. Mendengar orang membual menimbulkan rasa muak tanpa
harus diikuti perbuatan untuk melampiaskan rasa muak tersebut.
2.
Hidup
menjadi (Existential living).
a.
Kecenderungan
untuk hidup sepenuhnya dan seberisi mungkin pada seiap eksistensi. Disini orang
menjadi fleksibel, adaptable, toleran, dan spontan.
3.
Keyakinan
Organismik (Organismic trusting)
a.
Orang
mengambil keputusan berdasarkan pengalaman organismiknya sendiri, mengerjakan
apa yang dirasanya benar sebagai bukti kompetensi dan keyakinannya untuk
mengarahkan tingkah laku. Orang mampu memakai perasaan yang terdalam sebagai
sumber utama membuat keputusan.
4.
Pengalaman
kebebasan ( Experiental Freedom).
a.
Pengalaman hidup bebas dengan cara yang diinginkan
sendiri, tanpaperasan tertekan atau terhambat. Orang itu melihat banyak pilihan
hidup dan merasa mampu mengerjakan apa yang ingin dikerjakannya.
5.
Kreatifitas
(Creativity)
a.
Merupakan kemasakan psikologik yang optimal. Orang dengan
good life kemungkinan besar memunculkan produk kreatif dan hidup kreatif.
Kesimpulan
Teori Humanistik Carl Rogers
1. Teori Rogers disebut humanis karena
teori ini percaya bahwa setiap individu adalah positif, serta menolak teori
Freud dan behaviorisme.
2. Asumsi dasar teori Rogers adalah
kecenderungan formatif dan kecenderungan aktualisasi.
3. Diri (self) adalah terbentuk
dari pengalaman mulai dari bayi, di mana diri terdiri dari 2 subsistem yaitu
konsep diri dan diri ideal.
4. Kebutuhan individu ada 4 yaitu : (1)
pemeliharaan, (2) peningkatan diri, (3) penghargaan positif (positive
regard), dan (4) Penghargaan diri yang positif (positive self-regard)
5. Stagnasi psikis terjadi bila terjadi
karena pengalaman dan konsep diri yang tidak konsisten dan untuk menghindarinya
adalah pertahanan (1) distorsi dan (2) penyangkalan. Jika gagal dalam
menerapkan pertahanan tersebut konsep diri akan hancur dan menyebabkan
psikotik.
6. Dalam terapi, terapis hanya menolong
dan mengarahkan klien dan yang melakukan perubahan adalah klien itu sendiri.
Teori
Roger dalam bidang pendidikan adalah dibutuhkannya 3 sikap dalam fasilitator
belajar yaitu (1) realitas di dalam fasilitator belajar, (2) penghargaan,
penerimaan, dan kepercayaan, dan (3) pengertian yang empati.
- Realitas di dalam
fasilitator belajar
Merupakan
sikap dasar yang penting. Seorang fasilitator menjadi dirinya sendiri dan tidak
menyangkal diri sendiri, sehingga ia dapat masuk kedalam hubungan dengan
pelajar tanpa ada sesuatu yang ditutup-tutupi.
- Penghargaan,
penerimaan, dan kepercayaan
Menghargai
pendapat, perasaan, dan sebagainya membuat timbulnya penerimaan akan satu
dengan lainnya. Dengan adanya penerimaan tersebut, maka akan muncul kepercayaan
akan satu dengan lainnya.
- Pengertian yang empati
Untuk
mempertahankan iklim belajar atas dasar inisiatif diri, maka guru harus
memiliki pengertian yang empati akan reaksi murid dari dalam. Guru harus
memiliki kesadaran yang sensitif bagi jalannya proses pendidikan dengan tidak
menilai atau mengevaluasi. Pengertian akan materi pendidikan dipandang dari
sudut murid dan bukan guru.
Guru
menghubungan pengetahuan akademik ke dalam pengetahuan terpakai seperti
memperlajari mesin dengan tujuan untuk memperbaikai mobil. Experiential
Learning menunjuk pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan siswa. Kualitas
belajar experiential learning mencakup : keterlibatan siswa secara personal, berinisiatif,
evaluasi oleh siswa sendiri, dan adanya efek yang membekas pada siswa.
Menurut
Rogers yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru
memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran, yaitu:
1.
Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar. Siswa tidak
harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya.
2.
Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya. Pengorganisasian
bahan pelajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian
yang bermakna bagi siswa
3.
Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru
sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.
4.
Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses.
Dari
bukunya Freedom To Learn, ia menunjukkan sejumlah prinsip-prinsip dasar
humanistik yang penting diantaranya ialah :
a.
Manusia itu mempunyai kemampuan belajar secara alami.
b.
Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid
mempunyai relevansi dengan maksud-maksud sendiri.
c.
Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri
diangap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.
d.
Tugas-tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasakan dan
diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil.
e.
Apabila ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan
berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar.
f.
Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.
g.
Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut
bertanggungjawab terhadap proses belajar itu.
h.
Belajar inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik
perasaan maupun intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang
mendalam dan lestari.
i.
Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas, lebih mudah
dicapai terutama jika siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengritik dirinya
sendiri dan penilaian dari orang lain merupakan cara kedua yang penting.
j.
Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah
belajar mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap
pengalaman dan penyatuannya ke dalam diri sendiri mengenai proses perubahan
itu.
C. Ciri-ciri guru yang fasilitatif adalah :
1. Merespon
perasaan siswa
2. Menggunakan
ide-ide siswa untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang
3. Berdialog
dan berdiskusi dengan siswa
4. Menghargai
siswa
5. Kesesuaian
antara perilaku dan perbuatan
6. Menyesuaikan
isi kerangka berpikir siswa (penjelasan untuk mementapkan kebutuhan segera dari
siswa)
7. Tersenyum
pada siswa
D. Aplikasi Teori Humanistik Terhadap Pembelajaran
Siswa
Aplikasi
teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran
yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran
humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa sedangkan guru memberikan
motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru
memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk
memperoleh tujuan pembelajaran.
Siswa
berperan sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai proses pengalaman
belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami potensi diri , mengembangkan
potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat
negatif.
Tujuan
pembelajaran lebih kepada proses belajarnya daripada hasil belajar. Adapun
proses yang umumnya dilalui adalah :
1. Merumuskan
tujuan belajar yang jelas
2. Mengusahakan
partisipasi aktif siswa melalui kontrak belajar yang bersifat jelas , jujur dan
positif.
3. Mendorong
siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk belajar atas inisiatif
sendiri
4. Mendorong
siswa untuk peka berpikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara mandiri
5. Siswa
di dorong untuk bebas mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri,
melakukkan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dariperilaku yang
ditunjukkan.
6. Guru
menerima siswa apa adanya, Memberikan kesempatan murid untuk maju sesuai dengan
kecepatannya
7. Evaluasi
diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestasi siswa
Siswa
diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat
orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggungjawab tanpa
mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan , norma , disiplin atau
etika yang berlaku.
E. Ciri-ciri
guru yang baik dan kurang baik menurut Humanistik
Guru
yang baik menurut teori ini adalah : Guru yang memiliki rasa humor, adil,
menarik, lebih demokratis, mampu berhubungan dengan siswa dengan mudah dan
wajar.Ruang kelads lebih terbuka dan mampu menyesuaikan pada perubahan.
Sedangkan
guru yang tidak efektif adalah guru yang memiliki rasa humor yang rendah
,mudah menjadi tidak sabar ,suka melukai perasaan siswaa dengan komentsr ysng
menyakitkan,bertindak agak otoriter, dan kurang peka terhadap perubahan yang
ada.
A.
Pengertian Teori belajar Humanistik
Pengertian Humanistik yang beragam membuat batasan-batasan aplikasinya
dalam dunia pendidikan mengundang berbagai macam arti pula. Sehingga perlu
adanya satu pengertian yang disepakati mengenai kata humanistik dalam
pendidikan. Dalam artikel “What is Humanistik Education?”, Krischenbaum
menyatakan bahwa sekolah, kelas, atau guru dapat dikatakan bersifat humanistik
dalam beberapa kriteria. Hal ini menunjukkan bahwa ada beberapa tipe pendekatan
humanistik dalam pendidikan. Ide mengenai pendekatan-pendekatan ini terangkum
dalam psikologi humanistik.
Dalam artikel “some educational implications of the Humanistic
Psychologist” Abraham Maslow mencoba untuk mengkritisi teori Freud dan
behavioristik. Menurut Abraham, yang terpenting dalam melihat manusia adalah
potensi yang dimilikinya. Humanistik lebih melihat pada sisi perkembangan
kepribadian manusia daripada berfokus pada “ketidaknormalan” atau “sakit”
seperti yang dilihat oleh teori psikoanalisa Freud. Pendekatan ini melihat
kejadian setelah “sakit” tersebut sembuh, yaitu bagaimana manusia membangun
dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan bertindak positif ini
yang disebut sebagai potensi manusia dan para pendidik yang beraliran
humanistik biasanya memfokuskan penganjarannya pada pembangunan kemampuan positif
ini.
Kemampuan positif disini erat kaitannya dengan pengembangan emosi positif
yang terdapat dalam domain afektif, misalnya ketrampilan membangun dan menjaga
relasi yang hangat dengan orang lain, bagaimana mengajarkan kepercayaan,
penerimaan, keasadaran, memahami perasaan orang lain, kejujuran interpersonal,
dan pengetahuan interpersonal lainnya. Intinya adalah meningkatkan kualitas
ketrampilan interpersonal dalam kehidupan sehari-hari.
Selain menitik beratkan pada hubungan interpersonal, para pendidikan yang
beraliran humanistik juga mencoba untuk membuat pembelajaran yang membantu anak
didik untuk meningkatkan kemampuan dalam membuat, berimajinasi, mempunyai
pengalaman, berintuisi, merasakan, dan berfantasi. Pendidik humanistik mencoba
untuk melihat dalam spektrum yang luas mengenai perilaku manusia. “Berapa
banyak hal yang bisa dilakukan manusia? Dan bagaimana aku bisa membantu mereka
untuk melakukan hal-hal tersebut dengan lebih baik?
Melihat hal-hal yang diusahakankan oleh para pendidik humanistik, tampak bahwa pendekatan ini mengedepankan pentingnya emosi dalam dunia pendidikan. Freudian melihat emosi sebagai hal yang mengganggu perkembangan, sementara humanistik melihat keuntungan pendidikan emosi. Jadi bisa dikatakan bahwa emosi adalah karakterisitik yang sangat kuat yang nampak dari para pendidik beraliran humanistik. Karena berpikir dan merasakan saling beriringan, mengabaikan pendidikan emosi sama dengan mengabaikansalah satu potensi terbesar manusia. Kita dapat belajar menggunakan emosi kita dan mendapat keuntungan dari pendekatan humanistik ini sama seperti yang kita dapatkan dari pendidikan yang menitikberatkan kognisi.
1). Implikasi Teori Belajar Humanistik
a. Guru Sebagai Fasilitator
Psikologi
humanistik memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator yang berikut ini
adalah berbagai cara untuk memberi kemudahan belajar dan berbagai kualitas
sifasilitator. Ini merupakan ikhtisar yang sangat singkat dari beberapa
guidenes(petunjuk):
1. Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada
penciptaan suasana awal, situasi kelompok, atau pengalaman kelas
2. Fasilitator membantu untuk memperoleh dan
memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam kelas dan juga tujuan-tujuan
kelompok yang bersifat umum.
3. Dia mempercayai adanya keinginan dari
masing-masing siswa untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang bermakna bagi
dirinya, sebagai kekuatan pendorong, yang tersembunyi di dalam belajar yang
bermakna tadi.
4. Dia mencoba mengatur dan menyediakan
sumber-sumber untuk belajar yang paling luas dan mudah dimanfaatkan para siswa
untuk membantu mencapai tujuan mereka.
5. Dia menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu
sumber yang fleksibel untuk dapat dimanfaatkan oleh kelompok.
6. Di dalam menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam
kelompok kelas, dan menerima baik isi yang bersifat intelektual dan sikap-sikap
perasaan dan mencoba untuk menanggapi dengan cara yang sesuai, baik bagi
individual ataupun bagi kelompok
7. Bilamana cuaca penerima kelas telah mantap,
fasilitator berangsur-sngsur dapat berperanan sebagai seorang siswa yang turut
berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan turut menyatakan pendangannya
sebagai seorang individu, seperti siswa yang lain.
8. Dia mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam
kelompok, perasaannya dan juga pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak
memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara pribadi yang boleh saja digunakan
atau ditolak oleh siswa
9. Dia harus tetap waspada terhadap
ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya perasaan yang dalam dan kuat selama
belajar
10. Di dalam berperan sebagai seorang fasilitator,
pimpinan harus mencoba untuk menganali dan menerima
keterbatasan-keterbatasannya sendiri.
2). Aplikasi Teori Humanistik Terhadap
Pembelajaran Siswa
Aplikasi
teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran
yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran
humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa sedangkan guru memberikan
motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru
memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk
memperoleh tujuan pembelajaran.
Siswa
berperan sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai proses pengalaman
belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami potensi diri , mengembangkan
potensi dirinya secara positif dan meminimalkan potensi diri yang bersifat
negatif.
Tujuan
pembelajaran lebih kepada proses belajarnya daripada hasil belajar. Adapun
proses yang umumnya dilalui adalah :
- Merumuskan tujuan belajar yang jelas
- Mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui kontrak belajar yang bersifat jelas , jujur dan positif.
- Mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk belajar atas inisiatif sendiri
- Mendorong siswa untuk peka berpikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara mandiri
- Siswa di dorong untuk bebas mengemukakan pendapat, memilih pilihannya sendiri, melakukkan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dariperilaku yang ditunjukkan.
- Guru menerima siswa apa adanya, berusaha memahami jalan pikiran siswa, tidak menilai secara normatif tetapi mendorong siswa untuk bertanggungjawab atas segala resiko perbuatan atau proses belajarnya.
- Memberikan kesempatan murid untuk maju sesuai dengan kecepatannya
- Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestasi siswa
Pembelajaran berdasarkan teori humanistik ini
cocok untuk diterpkan pada materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan
kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena
sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang
bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjaadi perubahan pola pikir,
perilaku dan sikap atas kemauan sendiri. Siswa diharapkan menjadi manusia yang
bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya
sendiri secara bertanggungjawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau
melanggar aturan , norma , disiplin atau etika yang berlaku.
B.
Sejarah Teori Charl Rogers
Carl
Ransom Rogers dilahirkan di Oak Park, Illinois, pada tahun 1902 dan wafat di LaJolla, California, pada tahun 1987.
Semasa mudanya, Rogers tidak memiliki banyak teman sehingga ia lebih banyak
menghabiskan waktunya untuk membaca. Dia membaca buku apa saja yang ditemuinya
termasuk kamus dan ensiklopedi, meskipun ia sebenarnya sangat menyukai
buku-buku petualangan. Ia pernah belajar di bidang agrikultural dan sejarah di
University of Wisconsin. Pada tahun 1928 ia memperoleh gelar Master di bidang
psikologi dari Columbia University dan kemudian memperoleh gelar Ph.D di
dibidang psikologi klinis pada tahun 1931.
Pada
tahun 1931, Rogers bekerja di Child Study Department of the Society for the
prevention of Cruelty to Children (bagian studi tentang anak pada perhimpunan
pencegahan kekerasan tehadap anak) di Rochester, NY. Pada masa-masa berikutnya
ia sibuk membantu anak-anak bermasalah/nakal dengan menggunakan metode-metode
psikologi. Pada tahun 1939, ia menerbitkan satu tulisan berjudul “The Clinical
Treatment of the Problem Child”, yang membuatnya mendapatkan tawaran sebagai
profesor pada fakultas psikologi di Ohio State University. Dan pada tahun 1942,
Rogers menjabat sebagai ketua dari American Psychological Society.
Carl
Rogers adalah seorang psikolog humanistik yang menekankan perlunya sikap saling
menghargai dan tanpa prasangka (antara klien dan terapist) dalam membantu
individu mengatasi masalah-masalah kehidupannya. Rogers menyakini bahwa klien
sebenarnya memiliki jawaban atas permasalahan yang dihadapinya dan tugas
terapist hanya membimbing klien menemukan jawaban yang benar. Menurut Rogers,
teknik-teknik assessment dan pendapat para terapist bukanlah hal yang penting
dalam melakukan treatment kepada klien.
Menurut Rogers yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru
memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran, yaitu:
·
Menjadi
manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar. Siswa tidak harus
belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya.
·
Siswa
akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya. Pengorganisasian bahan
pelajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang
bermakna bagi siswa
·
Pengorganisasian
bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian
yang bermakna bagi siswa.
·
Belajar
yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses.
Dari bukunya Freedom To Learn, ia menunjukkan sejumlah prinsip-prinsip
dasar humanistik yang penting diantaranya ialah :
·
Manusia
itu mempunyai kemampuan belajar secara alami.
·
Belajar
yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid mempunyai
relevansi dengan maksud-maksud sendiri.
·
Belajar
yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri diangap
mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.
·
Tugas-tugas
belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan
apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil.
·
Apabila
ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai
cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar.
·
Belajar
yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.
·
Belajar
diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut
bertanggungjawab terhadap proses belajar itu.
·
Belajar
inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan maupun
intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam dan lestari.
·
Kepercayaan
terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas, lebih mudah dicapai terutama
jika siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengritik dirinya sendiri dan penilaian
dari orang lain merupakan cara kedua yang penting.
·
Belajar
yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah belajar
mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap
pengalaman dan penyatuannya ke dalam diri sendiri mengenai proses pembelajaran.
C. Sudut
pandang dan pokok-pokok pembelajaran Teori Charl Rogers
1). Sudut pandang teori Charl Rogers
Kunci utama sudut
pandang Rogers ialah bahwa orang cenderung berkembang ke arah positif,
dengan kata lain mereka akan memenuhi potensi mereka kecuali kalau mereka
mengalami rintangan. Sehingga Rogers juga berpandangan bahwa semua orang pada
dasarnya adalah baik.
Menurut Rogers, orang yang sehat secara psikologis adalah
mereka yang memiliki konsep diri yang luas, yaitu mampu memahami dan menerima
berbagai perasaan dan pengalaman. Control diri yang berasal dari dalam diri
seseorang adalah lebih baik dari pada control yang dipakasakan dan berasal dari
luar.
2). Pokok-pokok pembelajaran teori
Charl Rogers
Konsepsi-konsepsi
pokok dalam teori Rogers adalah:
1. Organism, yaitu keseluruhan individu (the total individual)
Organisme memiliki sifat-sifat berikut:
a. Organisme
beraksi sebagai keseluruhan terhadap medan phenomenal dengan maksud memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya.
b. Organisme
mempunyai satu motif dasar yaitu: mengaktualisasikan, mempertahankan dan
mengembangkan diri.
c. Organisme
mungkin melambangkan pengalamannya, sehingga hal itu disadari, atau mungkin
menolak pelambangan itu, sehingga pengalaman-pengalaman itu tak disadari, atau
mungkin juga organisme itu tak memperdulikan pengalaman-pengalamannya.
2. Medan
phenomenal, yaitu keseluruhan pengalaman (the
totality of experience)
Medan
phenomenal punya sifat disadari atau tak disadari, tergantung apakah pengalaman
yang mendasari medan phenomenal itu dilambangkan atau tidak.
3. Self, yaitu bagian medan phenomenal
yang terdiferensiasikan dan terdiri dari pola-pola pengamatan dan penilaian
sadar daripada “I” atau “me”.
Self mempunyai bermacam-macam sifat:
a. Self berkembang dari interaksi
organisme dengan lingkungan.
b. Self mungkin menginteraksikan
nilai-nilai orang lain dan mengamatinya dalam cara (bentuk) yang tidak wajar.
c. Self mengejar (menginginkan) consistency (keutuhan/kesatuan,
keselarasan).
d. Organisme
bertingkah laku dalam cara yang selaras (consistent)
dengan self.
e. Pengalaman-pengalaman
yang tak selaras dengan stuktur self
diamati sebagai ancaman.
f. Self mungkin berubah sebagai hasil
dari pematangan (maturation)
dan belajar.
D.
Dinamika Kepribadian
Rogers mengemukakan lima sifat khas dari seseorang yang
berfungsi penuh:
1. Keterbukaan
pada pengalaman
Yang berarti bahwa seseorang tidak bersifat kaku dan
defensif melainkan bersifat fleksibel, tidak hanya menerima pengalaman yang
diberikan oleh kehidupan, tapi juga dapat menggunakannya dalam membuka
kesempatan lahirnya persepsi dan ungkapan-ungkapan baru.
2. Kehidupan
eksistensial
Orang yang tidak mudah berprasangka ataupun memanipulasi
pengalaman melainkan menyesuaikan diri karena kepribadiannya terus-menerus
terbuka kepada pengalaman baru.
3. Kepercayaan
terhadap organisme orang sendiri
Yang berarti bertingkah laku menurut apa yang dirasa benar,
merupakan pedoman yang sangat diandalkan dalam memutuskan suatu tindakan yang
lebih dapat diandalkan daripada faktor-faktor rasional atau intelektual.
4. Perasaan
bebas
Semakin seseorang sehat secara psikologis, semakin mengalami
kebebasan untuk memilih dan bertindak.
5. Kreativitas
Seorang yang kreatif bertindak dengan bebas dan
menciptakan hidup, ide dan rencana yang konstruktif, serta dapat mewujudkan
kebutuhan dan potensinya secara kreatif dan dengan cara yang memuaskan.
E.
Terapi Rogers
Rogers memiliki pengaruh besar dalam praktek psikotrapi.
Dalam terapi Rogers, terapis cendrung bersifat sportif dan tidak mengarahakan.
Terapis beremapti terhadap klien dan memberikan penghargaan yang tulus. Selama
berkecimpung di bidang konseling anak dan psikologi klinis, rogers menyadari
bahwa klienlah yang paling memahami letak permasalahan dan aarah terapi
seharusnya berlangsung. Rogers juga memadang orang sebagai sebuah proses
perubahan sekumpulan potensi.
Rogers juga berpendapat bahwa ada dua kondisi utama yang
diperlukan agar tercipta perubahan kepribadian dalam psikotrapis :
Pertama, terapis harus bisa memperlihatkan
perhatian yang tulus terhadap klien.
Kedua, terapis memiliki pemahaman yang
empatis dalam arti terapis harus bisa merasakan ketegangan dan perasaan yang
dirasaankan kliennya.
Yang menarik dari metode Rogers ialah selain teknik dan
prosedurnya itu sendiri ada juga keberanian Rogers untuk merekam proses
wawancara dalam psikotrapinya untuk kemudian membahasnya bersama teman-teman
sejawatnya atau mahasiswanya. Di masa lalu keterbukaan semacam ini masih langka
dan langkah-langkah Rogers dianggap sebagai printis untuk kemajuan pengembangan
metode psikotrapi.
Dalam dunia psikologi Rogers selalu dihubungkan dengan
metode
psikoterapi
yang dikemukakan dan dikembangkannya ini menjadi popular karena:
- Secara historis lebih terikat kepada psikologi dari pada kedokteran
- Mudah dipelajari
- Untuk mempergunakannya dibutuhkan sedikit atau tanpa pengetahuan mengenai diagnosis dan dinamika kepribadian
- Lamanya perawatan lebih singkat jika dibandingkan misalnya dengan terapi secara psikoanalistis.
F. Aplikasi
Metode Psikoterapi Rogers dalam Konseling
Dalam dunia psikologi Rogers selalu dihubungkan dengan
metode psikoterapi yang dikemukakan dan dikembangkannya. Dasar dari teknik
terapinya tersebut Rogers menilai bahawa Manusia mampu memulai sendiri arah
perkembangannya dan menciptakan kesehatan dan menyesuaikannya.
Dengan demikian, konselor dapat membantu klien untuk
mengemukakan pengertiannya dan rencana hidupnya. Untuk memungkinkan pemahaman
ini konselor diharapkan bersifat dan bersikap:
1. Menerima (Acceptance)
terapis yang
ditujukan agar klien dapat melihat dan mengembangkan diri apa adanya.
2.
Kehangatan (Warmth)
Ditujukan agar klien
merasa aman dan memiliki penilaian yang lebih positif tentang
dirinya.
3.Tampil
apa adanya (Genuine)
Kewajaran yang perlu ditampilkan oleh terapis agar klien memiliki
sikap positif.
4.Empati
(Emphaty)
Menempatkan diri dalam kerangka acuan batiniah (internal frame of reference),
5. Penerimaan
tanpa syarat (Unconditional
positive regard)
Sikap penghargaan tanpa tuntutan yang ditunjukkan terapis
pada klien, betapapun negatif perilaku atau sifat klien, yang
kemudian sangat bermanfaat dalam pemecahan masalah.
6.
Transparansi (Transparancy)
Penampilan terapis yang transparan atau tanpa
topeng pada saat
terapi berlangsung maupun dalam kehidupan
keseharian merupakan hal yang penting bagi klien untuk
mempercayai dan menimbulkan rasa aman terhadap segala sesuatu yang diutarakan.
7. Kongruensi
(Congruence)
Konselor dan klien berada pada
hubungan yang sejajar dalam relasi terapeutik
yang sehat. Terapis bukanlah orang yang memiliki
kedudukan lebih tinggi dari kliennya.
Dengan demikian, akan dapat dilihat perubahan yang terjadi
dalam proses terapi antara lain :
1. Klien
akan mengekspresikan pengalaman dan perasaannya tentang kehidupan, dan problem
yang dihadapi.
2. Klien akan
berkembang menjadi orang yang dapat menilai secara tepat makna perasaannya.
3. Klien mulai
merasakan self concept antara
dirinya dan pengalaman mereka.
4. Klien sadar
penuh akan perasaan yang mengganggu.
5. Klien mampu
mengenal konsep diri dengan terapi yang tidak mengancam.
6. Ketika terapi
dilanjutkan, konsep dirinya menjadi congruence.
. 7. Mereka mengembangkan kemampuan
dengan pengalaman yang dibentuk oleh unconditional
positive regard.
8. Mereka akan
mengevaluasi pengalaman-pengalamannya sehingga mampu berelasi sosial dengan
baik.
9. Mereka
menjadi positif dalam menghargai diri sendiri.
G.
Aktulisasi diri dan perkembangan pribadi
1).
Aktualisasi diri
Rogers terkenal sebagai seorang
tokoh psikologi humanis, aliran fenomenologis-eksistensial, psikolog klinis dan
terapis, ide-ide dan konsep teorinya banyak didapatkan dalam
pengalaman-pengalaman terapeutiknya.
Ide pokok dari teori – teori Rogers yaitu individu memiliki
kemampuan dalam diri sendiri untuk mengerti diri, menentukan hidup, dan
menangani masalah–masalah psikisnya asalkan konselor menciptakan kondisi yang
dapat mempermudah perkembangan individu untuk aktualisasi diri.
Menurut Rogers motivasi orang yang sehat adalah aktualisasi
diri. Jadi manusia yang sadar dan rasional tidak lagi dikontrol oleh
peristiwa kanak-kanak seperti yang diajukan oleh aliran Freudian, misalnya toilet trainning, penyapihan ataupun
pengalaman seksual sebelumnya.
Rogers lebih melihat pada masa sekarang, dia berpendapat
bahwa masa lampau memang akan mempengaruhi cara bagaimana seseorang memandang
masa sekarang yang akan mempengaruhi juga kepribadiannya. Namun ia tetap
berfokus pada apa yang terjadi sekarang bukan apa yang terjadi pada waktu itu.
Aktualisasi diri adalah proses menjadi diri sendiri dan
mengembangkan sifat-sifat dan potensi -potensi psikologis yang unik.
Aktualisasi diri akan dibantu atau dihalangi oleh pengalaman dan oleh belajar
khususnya dalam masa kanak-kanak. Aktualisasi diri akan berubah sejalan dengan
perkembangan hidup seseorang. Ketika mencapai usia tertentu (adolensi)
seseorang akan mengalami pergeseran aktualisasi diri dari fisiologis ke
psikologis.
Rogers dikenal juga sebagai seorang fenomenologis, karena ia
sangat menekankan pada realitas yang berarti bagi individu. Realitas tiap orang
akan berbeda–beda tergantung pada pengalaman–pengalaman perseptualnya. Lapangan
pengalaman ini disebut dengan fenomenal
field. Rogers menerima istilah self
sebagai fakta dari lapangan fenomenal tersebut.
2). Perkembangan Kepribadian.
Konsep diri (self
concept) menurut Rogers adalah bagian sadar dari ruang fenomenal yang
disadari dan disimbolisasikan, dimana “aku“ merupakan pusat referensi
setiap pengalaman. Konsep diri merupakan bagian inti dari pengalaman individu
yang secara perlahan dibedakan dan disimbolisasikan sebagai bayangan tentang
diri yang mengatakan “apa dan siapa aku sebenarnya“ dan “apa yang
sebenarnya harus saya perbuat“. Jadi, self concept adalah kesadaran batin yang tetap, mengenai
pengalaman yang berhubungan dengan aku dan membedakan aku dari yang bukan aku.
Konsep diri ini terbagi menjadi 2 yaitu konsep diri real dan
konsep diri ideal. Untuk menunjukkan apakah kedua konsep diri tersebut sesuai
atau tidak, Rogers mengenalkan 2 konsep lagi yaitu:
1. Incongruence
Incongruence adalah ketidakcocokan antara self yang dirasakan dalam pengalaman
aktual disertai pertentangan dan kekacauan batin.
2. Congruence
Congruence berarti situasi dimana pengalaman
diri diungkapkan dengan seksama dalam sebuah konsep diri yang utuh, integral,
dan sejati.
Menurut Rogers, para orang tua akan memacu adanya incongruence ini ketika mereka
memberikan kasih sayang yang kondisional kepada anak-anaknya. Orang tua akan menerima
anaknya hanya jika anak tersebut berperilaku sebagaimana mestinya, anak
tersebut akan mencegah perbuatan yang dipandang tidak bisa diterima. Disisi
lain, jika orang tua menunjukkan kasih sayang yang tidak kondisional, maka si
anak akan bisa mengembangkan congruence-nya.
Remaja yang orang tuanya memberikan rasa kasih sayang kondisional akan
meneruskan kebiasaan ini dalam masa remajanya untuk mengubah perbuatan agar dia
bisa diterima di lingkungan.
Dampak dari incongruence
adalah Rogers berfikir bahwa manusia akan merasa gelisah ketika konsep diri
mereka terancam. Untuk melindungi diri mereka dari kegelisahan tersebut,
manusia akan mengubah perbuatannya sehingga mereka mampu berpegang pada konsep
diri mereka. Manusia dengan tingkat incongruence
yang lebih tinggi akan merasa sangat gelisah karena realitas selalu
mengancam konsep diri mereka secara terus menerus.
Contoh:
andy yakin bahwa dia merupakan
orang yang sangat dermawan, sekalipun dia seringkali sangat pelit dengan
uangnya dan biasanya hanya memberikan tips yang sedikit atau bahkan tidak
memberikan tips sama sekali saat di restoran. Ketika teman makan malamnya
memberikan komentar pada perilaku pemberian tipsnya, dia tetap bersikukuh bahwa
tips yang dia berikan itu sudah layak dibandingkan pelayanan yang dia terima.
Dengan memberikan atribusi perilaku pemberian tipsnya pada pelayanan yang
buruk, maka dia dapat terhindar dari kecemasan serta tetap menjaga konsep
dirinya yang katanya dermawan.
Setiap manusia memiliki kebutuhan dasar akan kehangatan, penghargaan,
penerimaan, pengagungan, dan cinta dari orang lain. Perkembangan diri
dipengaruhi oleh cinta yang diterima saat kecil dari seorang ibu. Kebutuhan ini
disebut need for positive regard,
yang terbagi lagi menjadi 2 yaitu conditional
positive regard (bersyarat) dan unconditional
positive regard (tak bersyarat).
•
Jika individu menerima cinta tanpa syarat, maka ia akan mengembangkan
penghargaan positif bagi dirinya (unconditional
positive regard) dimana anak akan dapat mengembangkan potensinya untuk
dapat berfungsi sepenuhnya.
•
Jika tidak terpenuhi, maka anak akan mengembangkan penghargaan positif
bersyarat (conditional positive
regard). Dimana ia akan mencela diri, menghindari tingkah laku yang
dicela, merasa bersalah dan tidak berharga.
Rogers menggambarkan pribadi yang berfungsi sepenuhnya
adalah pribadi yang mengalami penghargaan positif tanpa syarat. Ini berarti dia
dihargai, dicintai karena nilai adanya diri sendiri sebagai person sehingga ia tidak bersifat
defensif namun cenderung untuk menerima diri dengan penuh kepercayaan.
H. Kekurangan dan Kelebihan teori
Charl Rogers
Ø Kelemahan
atau kekurangan pandangan Rogers terletak pada perhatiannya yang semata – mata
melihat kehidupan diri sendiri dan bukan pada bantuan untuk pertumbuhan serta perkembangan
orang lain. Rogers
berpandangan bahwa orang yang berfungsi sepenuhnya tampaknya merupakan pusat
dari dunia, bukan seorang partisipan yang berinteraksi dan bertanggung jawab di
dalamnya.
Selain itu gagasan bahwa seseorang harus dapat memberikan
respon secara realistis terhadap dunia sekitarnya masih sangat sulit diterima. Semua orang tidak bisa melepaskan
subjektivitas dalam memandang dunia karena kita sendiri tidak tahu dunia itu
secara objektif.
Rogers juga mengabaikan aspek-aspek tidak sadar dalam
tingkah laku manusia karena ia lebih melihat pada pengalaman masa sekarang dan
masa depan, bukannya pada masa lampau yang biasanya penuh dengan pengalaman
traumatik yang menyebabkan seseorang mengalami suatu penyakit psikologis.
Ø Kelebihan pandangan Rogers terletak
pada pendidik sebab pendidik sebagai Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana
awal, situasi kelompok, atau pengalaman kelas serta Fasilitator juga harus membantu untuk memperoleh dan
memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam kelas dan juga tujuan-tujuan
kelompok yang bersifat umum.
Peran guru
dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa
sedangkan guru memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam
kehidupan siswa. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan
mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar