Pendidikan di Fhilipina
Guru - digugu lan ditiru - dituruti dan diikuti (Indonesia
tahun 1960 - 1980)
Guru - Pahlawan Tanpa Tanda Jasa (Indonesia tahun 1980 - 1990)
Guru - riwayatmu kini (Indonesia pasca Reformasi)
Tiga ungkapan di atas adalah cerminan perlakuan masyarakat
Indonesia terhadap profesi guru. Di awal-awal masa bangsa ini membangun
dirinya, profesi guru sangatlah dihormati. Demikian hormatnya masyarakat
Indonesia pada waktu itu, sehingga lahirlah hari
guru pada tanggal 25 November.
Hari guru tetaplah hari guru, namun
penghargaan terhadap profesinya belumlah semeriah perayaan harinya. Di
Indonesia, gaji guru terutama Guru Tidak Tetap (GTT) sangat-sangat
memprihatinkan. Coba bandingkan dengan gaji para petinggi BUMN negeri ini yang
kadang otaknya tak lebih dewasa dari kelakuan anak-anak SMP yang suka ribut dengan
rekan kerjanya sendiri. Saya tak cukup berani menuliskannya, tapi Anda bisa
melongoknya di situs ini dan di website resmi Harian Kedaulatan Rakyat.
Coba Anda hitung, dengan gaji tak lebih dari 500 ribu rupiah per bulan,
bagaimana mereka bisa mendidik anak-anak mereka ? Harus mereka kemanakan
anak-anak mereka, sementara tugas mereka adalah mendidik anak-anak orang lain ?
Dahulu kala, guru di Indonesia terlihat sangat terhormat di
mata negeri tetangga. Beberapa guru Malaysia berbondong-bondong untuk belajar
ke Indonesia. Termasuk mempelajari cara bermain angklung, dan
cara membuat batik tulis (yang belakangan justru di klaim oleh negeri tetangga
itu). Beberapa guru seni dari Amerika berbondong-bondong belajar seni gamelan di Indonesia.
Namun, pasca reformasi berdengung, nilai-nilai itu tergeser sedikit demi
sedikit. Tak berlebihan, bila minat
anak-anak bangsa menjadi guru sempat menurun saat awal-awal tahun 2000,
meskipun kini berbagai usaha perbaikan dan tunjangan guru telah diupayakan oleh
pemerintah.
Ada baiknya kita melihat budaya masyarakat Thailand dan
bagaimana masyarakat Thailand memperlakukan seorang warga negara yang
berprofesi guru di tengah masyarakat. Di Thailand, dikenal sebuah budaya yang
dinamakan dengan “Wai Khru” atau “Menghormati Guru”. “Wai” sendiri memiliki
makna “memberi salam” / menghormati lawan bicara mereka. Biasanya, mereka
melakukannya dengan mengatupkan dua telapak tangan mereka untuk memberi hormat
kepada lawan bicara mereka. Acara ini biasanya dilaksanakan di awal tahun
akademik. Biasanya Wai Khru dilaksanakan pada hari Kamis di
bulan Juni. Budaya ini terus dilaksanakan dan dimasukkan dalam
kultur pendidikan dasar sampai dengan menengah atas. Selain karena alasan
religi, menghormati guru adalah hal yang lumrah dan sudah seharusnya karena
guru adalah salah satu unsur yang memberi warna dan arah dalam kehidupan
masyarakat Thai. Demikian mereka memberi alasan, mengapa profesi guru sangat
mereka hormati.
Dalam kehidupan sehari-hari pun, masyarakat umum sangat
menghormati guru, bahkan saat mereka berada di luar sekolah. Saya sendiri,
pernah disangka seorang “ajarn” / guru Thailand, gara-gara mengenakan kaus
universitas saat pulang ke Indonesia dengan Air Asia Thailand. Akibatnya sang
pramugari terlihat agak berlebihan memberikan salam / “wai”. Hanya gara-gara
kaos saja.
Penghormatan ini bukan hanya omong kosong karena cerita
berlanjut ke pandangan masyarakat Thai akan keluarga seorang guru (dalam bahasa
Thai : khru atau ajarn). Menurut kultur masyarakat Thai, entah resmi atau tidak
resmi, seorang laki-laki yang berprofesi sebagai guru sudah semestinya memiliki
istri dengan profesi yang “sederajat” status sosialnya di masyarakat. Meski
barangkali terlihat sangat naif, tapi di balik itu semua masyarakat Thailand
sebenarnya ingin menyandangkan status “kepantasan” dan “penghormatan” kepada
seorang guru.
Masalah kesejahteraan ? Sebenarnya sangat relatif untuk hal
yang satu ini. Namun sejauh yang saya ketahui, belum pernah ada guru-guru di
Thailand yang berbuat anarkis atau melakukan demonstrasi untuk menuntut
kenaikan gaji. Artinya, se-korup apapun pemerintahan Thailand, mereka masih
memiliki malu jika sampai menyia-nyiakan guru. Tak seperti para pejabat dan
wakil rakyat Indonesia yang tak tahu malu. Di tengah-tengah gaji yang terus
mereka naikkan sendiri dengan aturan mereka sendiri, mereka tega melihat para guru berdemonstrasi menuntut
kenaikan gaji.
Akhirnya, kembali lagi ke masalah moral masing-masing pribadi
kita. Benarkah bangsa ini adalah bangsa yang besar? Sudahkah Sampeyan (sekuat
tenaga) membayangkan wajah-wajah guru Sampeyan di TK, SD, SMP, SMA dan dosen
sampeyan di Universitas. Sudahkah sampeyan bersilaturrahim ke mereka di suasana
lebaran ini? Tak perlu jauh-jauh studi banding ke Amerika atau Jepang. Lihatlah
negara tetangga kalau ingin memunculkan rasa malu yang telah hilang entah ke
mana.
Selamat Lebaran, MasDab. Semoga kita masih memiliki rasa
hormat kepada guru !
komentar :
Siti
Nur Elah subhanallah...
saia suka sekali artikel ini ...
guru,,,
memang ironi kalo kebanyakkan guru di Indonesia
sekarang lebih "kekanak kanakkan" / "menjadi pelacur
pendidikan" / "korban kepala sklh"
tapi ,,,banyak juga dari mereka yg sadar akan ahirat...
saia cinta guru gur saia yg seperti itu...
buka pelacur pendidikan...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar