“Berpikir adalah kemajuan. Tidak berpikir merupakan stagnasi bagi
individu, organisasi, dan negara. Berpikir mengarahkan pada tindakan.
Pengetahuan tanpa tindakan tidak ada gunanya dan tidak relevan.
Pengetahuan dengan tindakan mengubah kesengsaraan menjadi
kesejahteraan.” Dr Abdul Kalam, Pakar Aeronautika yang Presiden India.
SEPANJANG perjalanan kereta api dari New Delhi ke Agra nyaris tidak
ada yang menarik dipandang. Hujan baru saja turun, tetapi tidak membuat
ramah tanah kering dan tandus yang terhampar di kawasan pabrik-pabrik di
selatan New Delhi. Kampung-kampung yang kotor, areal permukiman kumuh
dengan ratusan orang di bawah tenda plastik, orang-orang miskin yang
buang hajat sembarangan, sambung-menyambung di sepanjang perjalanan.
Sungguh pemandangan yang sangat menyesakkan mata dan hati.
Duduk di depan kami tiga bapak berpenampilan seperti layaknya
orang-orang kampung. Seorang di
antaranya membawa kopor kecil berbahan
formika yang pernah populer di kalangan pegawai kantor dan anak SD di
Indonesia pada tahun 1970-an. Seorang yang lain menjinjing kardus berisi
setrika listrik tanpa pembungkus. Listrik ternyata masih barang mewah
bagi kalangan bawah India.
Beberapa saat kami mengobrol dengan seorang bapak yang membawa tas
jinjing. Omong punya omong, anak perempuan bapak bernama Shubuss itu
kini di Jerman, mendapat beasiswa untuk studi PhD dalam bioteknologi.
Anak keduanya, laki-laki, masih duduk di kelas 10, di Indonesia
setingkat kelas 1 SMA. Dua tahun lagi kemungkinan akan meneruskan ke
sekolah kedokteran. Kedokteran merupakan salah satu sekolah yang
bergengsi di India. Sekolah kedokteran. India telah memiliki reputasi
internasional. Sekitar 30 persen dokter di Amerika Serikat (AS) berasal
dari India.
Tak jauh dari tempat kami duduk, seorang pemuda tengah asyik membaca
majalah berbahasa Hindi yang dicetak dalam kertas koran. Penampilannya
sama tidak meyakinkan. Ia hanya mengenakan kaus dan celana pendek kolor.
Ternyata ia mahasiswa tahun terakhir di jurusan ilmu komputer
Universitas Delhi. Anak pegawai kereta api itu berencana melanjutkan
studi master. Untuk program PhD ia akan melanjutkan ke California, AS.
Adiknya yang lebih dahulu lulus dari Indian Institute of Technology
(IIT) Kanpur saat ini bekerja di sebuah perusahaan komputer di AS. Ia
membayar uang kuliah 10.000 rupee (sekitar Rp 2 juta) per tahun. Jumlah
itu setara dengan gaji sebulan guru SD di India.
“Untuk ukuran keluarga saya, biaya sekolah di perguruan tinggi tidak
mahal, tetapi juga tidak murah. Sedang-sedang saja,” kata Jitendra Kimas
(22). Shubuss bercerita tentang pendidikan di India yang murah dan
banyak perguruan tinggi yang bagus-bagus. Melalui pendidikan itu pula,
dari anak desa ia menempuh karier menjadi guru SD hingga pensiun sebagai
kepala sebuah kolese di Hyderabad.
“Industri kami pernah hancur, pertanian pernah gagal, pemerintahan
jatuh bangun, tetapi kami tetap bertahan. Itu karena kami punya otak,”
kata Shubuss berapi-api. “Pendidikan India mungkin paling murah di
dunia. India punya otak yang terbaik.”
INDIA merupakan sebuah paradoks. Negara itu kaya akan sumber daya
alam, tetapi lebih dari 40 persen penduduknya hidup di bawah 1 dollar AS
per hari. India memiliki begitu banyak ahli bidang teknik. Sejumlah 30
persen dokter di AS dan para pekerja teknologi informasi serta ahli
teknik menguasai perusahaan-perusahaan penting di AS. Banyak orang India
menduduki posisi bagus di organisasi internasional. Namun, hampir 40
persen atau lebih dari 350 juta orang dewasa di India buta huruf, hampir
40 persen anak putus sekolah setelah kelas lima, dan lebih dari 55
persen putus sekolah setelah kelas delapan. Indeks Pembangunan Manusia
India berada di peringkat 127, jauh di bawah Indonesia yang berada di
peringkat 111.
Kemajuan India dalam ilmu pengetahuan dan teknologi telah diakui
dunia. Negara itu telah melahirkan sejumlah pemenang Nobel: Amartya Sen
(ekonomi), Subrawanian Chandrashekar dan Chandrashekar Venkataraman
(fisika), Hargobind Khorana (kedokteran). Dua warga India lainnya, Bunda
Theresa memenangi Nobel Perdamaian dan Rabindranath Tagore di bidang
sastra.
Di tengah persoalan kemiskinan yang membayangi India dari masa ke
masa, Pemerintah India konsisten mengembangkan pusat-pusat keunggulan di
tingkat universitas sejak awal kemerdekaan. Tiga tahun setelah
kemerdekaannya, pada tahun 1951, parlemen India menetapkan Institut
Teknologi India di Karagpur sebagai pusat keunggulan nasional. Semua
dana pembangunan dan operasional sepenuhnya disokong oleh pemerintah
pusat. Institut teknik yang sama dibentuk di lima kota lain yang
tersebar di sejumlah wilayah, dari utara sampai selatan negeri itu.
Pada tahun 2001 Universitas Roorkee yang berada di bawah urusan
pemerintah Negara Bagian Uttar Pradesh diangkat statusnya oleh parlemen
menjadi salah satu pusat unggulan nasional. Namanya berubah menjadi IIT
Roorkie, menyejajarkan diri dengan enam IIT yang sudah ada.
Keberadaan IIT yang didukung penuh secara finansial oleh pemerintah
pusat itu sangat besar peranannya menciptakan kumpulan besar teknisi dan
pakar teknologi di India. Selain IIT, sejumlah universitas juga
memiliki fakultas bidang sains dan teknik yang cukup bagus dan
lulusannya diperhitungkan di pasar kerja tingkat dunia. Kumpulan para
profesional di bidang teknik, khususnya teknologi informasi, menyerbu
AS. Sekitar 30 persen pekerja perusahaan perangkat lunak raksasa
Microsoft di AS berasal dari India, meski Bill Gates hanya menyebut
angka sekitar 20 persen. Tidak sedikit pula ahli sains dan teknologi
dari India menjadi pengajar di universitas top AS. Para profesional
teknik dari India diperhitungkan di tingkat dunia.
Semula kepergian orang- orang pintar India ke AS itu dikeluhkan dan
dirisaukan menjadikan India mengalami brain drain. Orang-orang India
yang menyerbu kesempatan bekerja di negara-negara maju itu tidak hanya
menyumbang devisa yang tidak sedikit bagi India. Sebagian dari mereka
kembali ke India dengan modal uang dan keahlian yang dimiliki. Mereka
membentuk perusahaan-perusahaan perangkat lunak komputer di Bangalore,
kawasan selatan India, yang dijuluki sebagai lembah silikon India,
mengingatkan kita pada lembah silikon di Amerika Serikat. Keberhasilan
itu makin memacu minat anak-anak muda India berlomba masuk universitas
teknik yang makin membuka lebar pintu ambisi negara itu menjadi raksasa
dunia dalam industri perangkat lunak.
Industri piranti lunak di India berkontribusi besar bagi perekonomian
India. Pada tahun 2002 industri piranti lunak di India menghasilkan 10
miliar dollar AS, dengan pasar domestik 2 miliar dollar AS, masih
memberikan sumbangan 16 persen dari total ekspor dari negara itu.
Bukan hanya pendidikan tinggi teknik keunggulan negara miskin itu.
Sekolah-sekolah kedokteran di India diselenggarakan dengan standar
internasional sehingga lulusannya pun bisa memperoleh pekerjaan di luar
India. Sekitar 30 persen dokter di AS adalah orang India. Sekolah bisnis
dan manajemen di India juga mulai diperhitungkan. Menyusul ketenaran
IIT, enam Institut Manajemen India telah mencapai reputasi internasional
dalam beberapa tahun belakangan. Institut Manajemen India Ahmedabad
disejajarkan dengan lulusan sekolah bisnis Harvard (salah satu terbaik
di dunia) dan lulusan terbaiknya diperebutkan perusahaan multinasional
dengan gaji sangat tinggi.
Pendidikan tinggi di India tidak banyak meninggalkan masalah.
Meskipun, menurut Dekan Fakultas Pendidikan Universitas Jamia Millia
Islamia Prof Mohammad Miyan, pendidikan tinggi di India masih harus
lebih banyak diarahkan untuk menghasilkan profesional di bidang teknik
bukan sarjana-sarjana ilmu sosial. Pendapat senada dikemukakan profesor
bidang matematika Jamia Millia Islamia Ny Kum Kum Dewan. Sejauh
menyangkut pendidikan tinggi, kata Dewan, pendidikan di India tidak
masalah. Masalah besar pendidikan di India adalah pendidikan untuk
masyarakat di tingkat rakyat jelata.
“Angka putus sekolah di India masih sangat besar. Bila anak putus
sekolah di kelas empat atau kelas lima, apa yang bisa diperbuat untuk
masa depannya?” kata Dewan.
KEMAJUAN dalam sains dan teknologi yang dicapai oleh India itu
memberikan inspirasi bagi pakar aeronautika India Dr Abdul Salam
memunculkan gagasan Visi India 2020: Visi untuk Milenium Baru yang
bukunya terbit pada tahun 1998. India, kata Kalam, akan menjadi negara
maju pada tahun 2020. Pemikiran Kalam cukup provokatif. Sumber daya alam
India cukup menjanjikan, segudang pakar dan profesional teknik tersedia
di India, negara itu juga sudah mencapai kemajuan dalam pengembangan
program ruang angkasanya, tetapi indeks pembangunan manusia masih
tergolong buruk. Sekitar 25 persen penduduknya masih hidup di bawah
garis kemiskinan, tinggal berserakan di tenda-tenda kotor tanpa air
bersih; angka buta huruf tinggi dan pendidikan dasar belum menjangkau
semua orang. Dalam banyak hal, India lebih parah dari Indonesia.
Meski masih menghadapi berbagai persoalan besar, Abdul Kalam pada
tahun 1998 mengemukakan bahwa sangat mungkin India menjadi negara maju
dalam 15 sampai 20 tahun ke depan. India, kata Kalam, bisa
mentransformasikan perekonomiannya menjadi satu dari lima terbesar di
dunia. Pada saat itu India akan menjadi negara maju di mana
masyarakatnya hidup jauh di atas garis kemiskinan, standar kesehatan dan
pendidikannya tinggi, keamanan nasional terjamin, dan kompetensi di
sejumlah bidang tercapai sehingga bisa menghasilkan produk berkualitas.
Apa yang diperlukan untuk mencapai itu semua? “Kekuatan teknologi
bangsa ini yang menjadi kunci untuk mencapai status negara maju.
Perhatian yang memadai perlu diberikan untuk membangun kader-kader
sumber daya manusia khusus di negara ini,” kata Kalam dalam sebuah
bukunya.
Pada tahun 1999 ia masuk menjadi salah satu anggota kabinet dan
terpilih menjadi presiden India ke-11, Juli 2002. Kalam merupakan
pemimpin inspiratif yang mencoba mentransformasikan India dari negara
sedang berkembang menjadi negara maju pada tahun 2020. Dalam berbagai
kesempatan Kalam memberi penekanan pada pengembangan teknologi dan
perhatian yang lebih besar pada pendidikan di India.
Saat berpidato di peringatan Hari Kemerdekaan India 14 Agustus lalu,
Kalam memberikan penekanan khusus pada ihwal pendidikan. Lebih dari 75
persen waktunya dipergunakan untuk berbicara tentang pendidikan.
Berbagai masalah seperti hubungan luar negeri, pertahanan, dan ekonomi,
hanya disinggung di satu alinea dalam pidato kenegaraannya, tetapi
pendidikan dibicarakan tidak kurang dari 17 alinea. Dalam pidatonya
Kalam mendorong peningkatan anggaran pendidikan di India dari empat
persen produk domestik bruto menjadi tujuh sampai delapan persen untuk
memberantas buta huruf, putus sekolah, dan pendidikan dasar bagi semua.
Visi pendidikan yang kuat juga mewarnai lembaga peradilan di India.
Baru-baru ini Mahkamah Agung India mengabulkan gugatan sejumlah warga
masyarakat dan memerintahkan sekolah-sekolah swasta di New Delhi
mengalokasikan 25 persen bangku sekolah untuk kalangan jelata secara
cuma-cuma. Keputusan ini cukup kontroversial, tetapi mulai tahun ajaran
baru ini pemerintah dan sekolah-sekolah swasta tunduk mengikuti perintah
pengadilan.
Apakah India akan berhasil mengatasi kemiskinan dan meningkatkan
pendidikan di kalangan masyarakat bawah dan akan menjadi negara maju
pada tahun 2020? Terlepas ya atau tidak, visi yang disampaikan Kalam dan
para negarawan di India mempertajam arah ke mana India dibawa ke depan.
Teknologi dan pendidikan menjadi kunci utama bagi transformasi negara
itu dari negara sedang berkembang menjadi negara maju.
Celakanya, Indonesia tak punya presiden atau calon presiden yang
memiliki visi kuat dalam pendidikan. Tidak heran bila pendidikan di
Indonesia seperti angsa patah sebelah sayapnya. Tidak bisa terbang. Di
tengah kolam ia hanya bisa berputar-putar tanpa beranjak di tempat yang
sama. (P BAMBANG WISUDO)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar