Kerja Sama yang Tidak Patut
Ditiru
( Guru Lokal dan Peserta Didik )
1. Pembuka
Pada suatu
musim panas yang aneh, dan gerah. Pada suatu musim panas ketika mereka
menghukum mati anak anak menggunakan pasangan angka. Aku tidak tahu kenapa aku
ada di Halmahera.
Pagi itu
sekitar pukul 05.40 WIT sesaat setelah bangun dari tidur, aku di kejutkan
dengan daratan yang seakan tak berpenghuni dan sangat asing untuk kedua bola
mata ini. Bagaimana tidak, ketakutan yang kurasakan bersama dengan dua orang
yang mungkin akan jadi teman ataupun sahabat selama 7 jam di atas perahu itu
membuatku tidak bisa berfikir secara jernih lagi. Matahari pun mulai
menunjukkan kekuatannya untuk memancarkan cahaya nya, sehingga deretan rumah
yang berada di pesisir pantai itu mulai terlihati.
Setelah
menginjakkan kaki pertama kali di pasir tersebut, aku terkejut oleh sambutan
hangat yang di berikan salah seorang bapak tua. Bapak itu mengulurkan tangan
memberikan salam kepadaku seakan ingin bersahabat. Koper kami pun mulai di
angkut oleh orang-orang yang sedikit berbeda dengan kami mulai dari warna
kulit, rambut dan hidung yang agak mancung.
Selangkah demi
selangkah kaki ini mulai merasakan batu kerikil yang sedikit mengganggu pijakan
kaki .Tak lupa pandangan pun ku lemparkan ke arah kabel listrik saat itu. Ya
maklum saja, daerah ini terbilang pelosok yang jauh dari gemerlap perkotaan.
Tak kusangka
saat itu, kepala sekolah yang menjemput kami
berhasil memberikan harapan besar kepada kami. Di katakan berbohong,
tapi tidak kok. Hehe.... saat itu sebelum saya mengiyakan untuk ikut ke desa
beliau, saya bertanya yang mungkin tidak usah di pertanyakan lagi dengan
pertanyaan ( Pak, kataku sambil menatap beliau..iya kata beliau...berapa lama
perjalanan ke desa ? apakah ada listrik ? Sinyal ?, sontak beliau menjawab
sekitar 6-7 jam nak. Listrik dan sinyal ada kok. Wahhh ... dalam hati berkata
“mantaplah”. ) .
Sesampainya di
desa saat itu, sontak mata ini melihat tiang listrik ( ukuran mini dari kayu
beserta kabelnya ) wah keren lah, ada listrik ternyata. Nah, sampainya dirumah kepala sekolah kok Tv
bapak tidak menyala kemudian kok lampu tidak di hidupkan. Refleks bertanya
dong, pak ?? kok ruangan tengah gelap pak ?? beliau menjawab, iya nak kalau
siang hari listrik di desa ini tidak hidup karena kita menggunakan mesin Genset
dimana perlu menggunakan tambahan solar. Wah dalam hati ini mulai gelisah,
gimana cara menggunakan Hp dan laptop..bagaimana kehidupan warga jika listrik
di siang hari tidak di hidupkan ?? ya benar kata pak kepala sekolah bahwa
memamng ada listrik.Sama halnya dengan sinyal yang beliau katakan, memang ada
tapi...ah sudahlah. Kadang ada kadang tidak ada. Itupun harus susah payah
mencari tampat yang pas agar sinyalnya stabil.
Seiring
berjalannya waktu, kami sudah mulai terbiasa. Menggunakan baterai laptop
seperlunya, Hp Cuma di gunakan untuk mendengar MP3. Sosial Media pun tak
terjamah lagi oleh jari jemari ini. Dalam hati, apakah aku bisa melalui kondisi
seperti ini selama berada di tempat ini ???
2.
Inti
setelah
sarapan saat pertama kali berada di desa tersebut, saya di rujuk ke rumah
tetangga pak kepala sekolah untuk saya tempati selama setahun. Kemduian dua
teman saya ( keduanya cewek) tinggal di rumah kepala sekolah. Sampai lah saya
di kamar yang mana ada seorang guru juga yang akan menjadi teman kamar saat
itu. Ternyata kami seangkatan dalam perkuliahan, yang jadi pembeda beliau sudah
sangat lama mengabdi di sekolah tempat saya mengabdi. Boleh di kata senior.
2 hari setelah
berada di desa penempatan untuk mengabdi, tibalah saatnya saya ke sekolah untuk
di perkenalkan ke guru-guru dan peserta didik setempat. Hari itu, tidak beda
jauh dengan yang saya lihat di tv-tv bahwa kondisi pembelajaran sangat
memprihatinkan yaitu jumlah peserta didik yang kurang, ruang perpustakan yang
belum ada, dan kekurangan lainnya. Tapi dalam hal ini kami sebagai peserta
SM-3T ( Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan Terluar dan Tertinggal ) memiliki
niat yang tulus untuk mengabdi di daerah pelosok sehingga apapun kekurangan di sekolah
akan kami maksimalkan sebisa mungkin.
Minggu pertama
kami berada di sekolah, kami merasakan antusias mereka belajar memang sangat
rendah. Kami tidak tahu mengapa, yang kami tahu kami akan mendidik mereka
selama setahun dengan penuh ketulusan. Hari hari pun di lalui dengan lancar
dengan penuh kreatifitas, penuh ide sehingga mereka memiliki motivasi dalam
diri mereka. Sampai pada akhirnya kami sudah mulai hafal dan tau kemampuan
mereka.
Ehh... sampai
lupa, oh ya kami di tempatkan di SMK Pertanian Womatekekomoteke. Tepatnya di
desa Pacao Keccamatan Loloda Utara Kabupaten Halmahera Utara Provinsi maluku
Utara. Nah dari nama sekolahnya saja, kami sudah mulai mendapatkan hal lucu.
Kadang kami, salah menyebutkan Womatekekomoteke (womaketekomotoke, sehingga seluruh
peserta didik sontak tertawa sembari membantu kami untuk menyebutkan nama
sekolah mereka berulang kali ). Sampai pada 3 bulan pertama sudah mulai lancar
dan tidak terbalik balik lagi saat mengucapkan Womatekekomoteke.
Tidak terasa
MID Semester pun di depan mata, berbagai kesibukan administrasi kesekolah di
serahkan kami untuk membantu para guru melaksanakan ujian ini. seperti membantu
mengetik soal Ujian dan di print out. Ujian Mid semester pun selesai dan hasil
ulangan mereka sudah tertempel di jendela kaca sekolah ( maklum tidak ada papan
pengumuman khusus). Beberapa siswa mendapatkan nilai di bawah standar. Dan apa
yang terjadi dengan nilai tersebut, ya kami sangat kaget. Karena untuk remedial
perbaikan nilai, mereka hanya perlu membantu guru lokal di kebun seperti
membelah kayu, memetik cengkeh dll . setelah itu masalah selesai. Hehehe
Melihat
kejadian itu, saya jadi berfikir bahwa di sekolah ini tidak mementingkan proses
untuk bagaimana mereka tahu dan faham materi seperti yang biasa kita lakukan di
kota dan daerah lainnya. Ya jujur saja, di sekolah tersebut hanya ada 3 PNS dna
sisanya adalah honorer(15 guru.) Itupun guru guru yang ada terbagi
konsentrasinya dalam pembelajaran karena di desa tersebut juga ada MTs yang
mana guru gurunya adalah guru yang sama mengajar di SMK. Sehingga pembelajaran
kurang efektif.
1 bulan
sebelum ujian Semester ganjil, di adakan rapat oleh kepala sekolah untuk
menunjuk panitia Ujian. Ya rekan rekan guru lokal memberikan kepada kami
kepercayaan untuk menjadi panitia. Saya sendiri ketua dan dua teman saya
lainnya masing masing sebagai sekertaris dan bendahara. Ya kami sebagai
panaitia menghimbau kepada rekan guru guru untuk mengumpulkan masing masing soal
( dalam bentuk tulisan tangan). Nantinya kami panitia akan mengetik ulang di
komputer yang nantinya di print out dan di perbanyak di kota kabupaten karena
keterbatasan print.
Alhamdulillah
saya sebagai ketua panitia telah sampai di kota kabupaten dan menggandakan soal
soal rekan guru. Kemudian membeli segala keperluan ujian. Tibalah saatnya ujian
semester dimana tiap ruangan ada dua pengawas. Sampai pada akhirnya ketika
ujian telah selesai, masih ada beberapa peserta didik yang memiliki nilai di
bawah standar KKM. Pada saat penerimaan rapor, ada hal yang lucu dan bikin
greget di antara guru lokal dan orang tua peserta didik yang hadir saat itu.
Kami serasa
menyaksikan sinetron, bayangkan saja orang tua peserta didik yang anaknya
memiliki nilai di bawah standar melakukan perundingan yang seharusnya tidak
saya liat. Ya mereka mengrobankan anak mereka untuk membantu guru lokal di
kebun untuk perbaikan nilai. Nah saat ini, saya mulai geram dan kacau. Betapa
mirisnya kesepakatan yang mereka buat untuk sebuah hasil. Sangat di sayangkan
memang perbuatan seperti itu. Dimana orang tua siswa sudah acuh dalam hal
proses. Mereka lebih suka yang instan. Dan kejadian seperti ini terulang lagi
sampai pada saat ujian semester 2.
Selain
kejadian di atas, ada yang lebih parah. Yaitu ketika musim cengkeh dan Pala.
Dimana guru guru lokal menjadikan peserta didik sebagai pekerja di kebun saat
jam sekolah. Saat itu, saya sempat bergurau kepada penjaga sekolah. Pak ??kok
hari ini siswa sedikit yang hadir sekolah ?? bahkan kelas 3 pun yang mana akan
ujian Nasional juga sedikit?? Beliapun menjawab, nak disini itu ketika musim
cengkeh dan pala maka desa pun menjadi sepi. Karena semua orang ke kebun untuk memetik cengkeh dan pala.
Itulah mata pencaharian terbesar mereka. Sama dengan anak anak di desa, dimana
mereka juga di tuntut oleh orang tua mereka mencari uang ketika musim cengkeh
dan pala. Hmmm ....dalam hati ini terasa sesak.
Hari itu saya
merasa marah, tapi tidak tau mau marah kepada siapa ? yang jadi permasalahan
bagi saya sebenarnya adalah saya melihat pembicaraan antara guru dan siswa.
Yaitu guru lokal mengajak siswa ke kebun (memang sih di bayar) tapi pada saat
jam sekolah. Ya suatu pemandangan yang miris yah, sekolah menjadi sepi dari
peserta didik maupun guru-guru. Dan ini berlangsung selama beberapa bulan yang
membuat saya dilema. Karena dari sekolah(beberapa guru) pun merasa cukup
terbantu dan tidak di pungkiri siswa pun senang karena perlu sekolah. Karena
dengan membantu guru guru maka nilai mereka pasti baik.
Ada 1 hal yang
menggelitik juga, ketika di adakan rapat dan sekolah mengundang seluruh orang
tua siswa. Dimana saat itu yang menjadi permasalahannya adalah kenakalan siswa
itu sendiri. Lagi lagi orang tua siswa dan sekolah membuat kesepakatan yang
lucu. Salah satu orang tua siswa diberi kesempatan untuk berbicara saat itu,
beliau mengatakan kepada kami guru guru bahwa ketika anak kami nakal ( telat,
bolos dll ) maka silahkan di pukul asalkan jangan sampai mati, ucap orang tua
tersebut. Sontak saya pun kaget, aduh ini kok lucu yah. Seluruh orang tua pun
bergemuruh mendukung pernyataan si bapak tadi. Mereka mengatakan bahwa kami
saja tidak mampu untuk mendidik anak kami sendiri, sehingga memberikan
keleluasaan kepada sekolah untuk memberikan hukuman yang berat kepada anaknya
ketika salah. Suatu kondisi yang memprihatinkan.
3.
Penutup
Masalah
pendidikan yang ada di desa ini seharusnya di lakukan langkah-langkah yang
tidak merugikan satu sama lain, seperti sekolah memberikan yang terbaik untuk
peserta didik seperti fasilitas dan hak siswa sendiri dalam hal memperoleh
pembelajaran yang baik. Karena biar bagaimanapun anak anak inilah yang akan
menjadi penerus bangsa terkhusus di desa sendiri. Hanya dengan pendidikan yang
jujur akan menghasilkan anak anak yang cerdas dan beretika.
Mari bersama
sama membangun pendidikan seperti slogan sekolah tadi yaitu womatekekomoteke (
bersama sama ) merangkul anak anak cerdas untuk menggapai impian mereka. Jangan
sampai mereka tidak memiliki mimpi ketika berada di sekolah. Perlu perbaikan
mutu pendidikan dan moral untuk membangun bersama anak anak yang cerdas.
Dari kisah
ini, kita sebagai guru dimana pun berada bisa memiliki rasa yang lebih untuk bertanggung jawab ke peserta
didik. Jadikan sekolah adalah tujuan mereka, bukan hanya datang lalu pulang
lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar